Rabu 24 Sep 2014 06:30 WIB

FPI Tolak Pengakuan Resmi Agama Baru

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Citra Listya Rini
FPI
FPI

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA  --  Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muchsin Alatas bersama puluhan massa FPI mendatangi kantor Kementerian Agama (Kemenag) di Jalan Lapangan Banteng Barat, Jakarta. Mereka datang untuk meminta klarifikasi terkait isu rencana pengakuan agama secara resmi.

Muchsin mengatakan FPI menolak gagasan terkait rencana pengakuan agama secara resmi oleh negara di luar enam agama yang telah ada saat ini yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Menurutnya, tidak mungkin semua agama yang ada diakomodir untuk diakui secara administrasi. "Kami menolak rencana itu," katanya kepada Republika Online.

Muchsin berpendapat jika semua keyakinan yang ada di Indonesia diakui secara administratif oleh negara, maka akan ada banyak sekali agama resmi di Indonesia. Menurutnya, hal itu justru akan merusak tatanan bernegara. Karena itu, FPI meminta pemerintah untuk tidak memberikan pengakuan terhadap agama lain selain enam itu.

Ditanya terkait kewajiban negara untuk memberikan pelayanan terhadap semua warga negara, Muchsin mengatakan hal itu bisa dijaminkan dalam bentuk regulasi. Artinya, kata dia, agama dan atau kepercayaan yang selama ini telah ada di Indonesia tidak harus diakui secara administratif sebagai agama resmi.

“Jadi misalnya ada Undang-Undang bagaimana bentuk toleransi terhadap mereka yang tidak masuk agama resmi dan itu wewenang pemerintah,” ujar Muchsin.

Seperti diketahui, Sabtu (20/9), Kemenag membuat seminar tentang peta masalah pelayanan negara terhadap umat beragama. Seminar tersebut merupakankelanjutan atau rangkaian dari Focus Group Discussion (FGD). FGD tersebut diikuti oleh berbagai pihak yakni LSM yang concern dalam urusan umat beragama dan HAM, Ormas Keagamaan, Komnas HAM, Kepolisian hingga tokoh Perguruan Tinggi.

Dalam pertemuan tersebut, ada tiga hal yang dibahas yakni perlindungan negara terhadap umat beragama, khususnya terkait masalah Syiah dan Ahmadiyah. Kemudian pelayanan negara terhadap rumah-rumah ibadah dan terakhir adalah perlindungan negara terhadap umat beragama di luar enam agama resmi yang sudah diakui, seperti Kaharingan, Sunda Wiwitan, Baha’i dan lain-lain.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement