REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Indonesia yang tergabung dalam inisiatif Governors' Climate and Forest Task Force (GCF), Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang, menyatakan peran masyarakat adat dan lokal sangat penting dalam upaya pengelolaan pengurangan degradasi hutan.
"Masyarakat adat dan tradisional di seluruh dunia adalah contoh terbaik pendekatan yurisdiksi berhasil melindungi hutan," katanya melalui keterangan tertulis yang disampaikan Sita Supomo, GCF Koordinator Indonesia yang juga Direktur Program Sustainable Development Governance Kemitraan di Jakarta, Selasa.
Gubernur Kalteng itu mewakili anggota GCF, dalam tanya jawab pada panel yang dimoderatori oleh Administratur Program Pembangunan PBB (UNDP) Helen Clark, di tengah acara "Climate Summit" pada pertemuan tahunan PBB di New York, AS, pada 23 September 2014.
Para pemimpin sub-nasional dari tujuh negara, yaitu para gubernur yang berasal dari Brazil, Indonesia, Meksiko, Nigeria, Peru, Spanyol dan Amerika Serikat yang tergabung dalam inisiatif GCF, memimpin wilayah yang memiliki lebih dari 25 persen hutan tropis dunia.
Gubernur Kalteng itu memberikan kesaksiannya sebagai masyarakat Dayak.
Dengan rujukan bahwa masyarakat adat dan tradisional di seluruh dunia adalah contoh terbaik pendekatan yurisdiksi yang berhasil melindungi hutan, ia menyarankan pemerintah di semua tingkatan harus banyak belajar dari mereka.
Ia menyatakan komitmen para gubernur untuk memastikan bahwa masyarakat lokal dan adat mendapatkan keuntungan dari pengelolaan deforestrasi hutan dan lahan gambut.
Untuk mencapai hal-hal tersebut, ia menekankan perlunya dukungan dari berbagai pihak, baik finansial, teknis, maupun akses ke peluang-peluang pasar domestik dan internasional.
Selain itu, juga peluang-peluang nonpasar bagi penurunan emisi.
Dengan komitmen yang kuat dari anggota GCF, serta dukungan penuh dari negara donor, masyarakat sipil, dan sektor swasta, maka ia optimistis kelestarian hutan untuk lingkungan yang lebih baik dan pembangunan berkelanjutan akan dapat tercapai.
Anggota GCF, kata dia, sejak tahun 2008 telah memelopori upaya-upaya untuk mempromosikan pengintegrasian perlindungan hutan dan iklim.
Bersama mitra-mitra masyarakat sipil, katanya, para gubernur telah dan terus memimpin pengembangan pendekatan-pendekatan komprehensif skala yurisdiksi kepada REDD+ dan pembangunan rendah emisi.
Hasilnya, negara bagian dan provinsi anggota GCF telah berkontribusi secara signifikan dalam penurunan deforestasi dan emisi dunia.
Salah satu contohnya adalah Brazil yang dapat menurunkan tingkat deforestasi lebih dari 70 persen dan mengurangi produksi emisi CO2 lebih dari tiga miliar ton di tahun 2006-2012.
Ia mengatakan bahwa komitmen untuk bekerja sama dengan kelompok-kelompok seperti "Consumer Goods Forum" dan sektor swasta melalui program yurisdiksi dilakukan utamanya untuk mewujudkan tujuan rantai pasokan bebas deforestrasi.
Sekjen PBB Ban Ki Moon, pengundang acara itu, menyerukan upaya bersama bersama menggerakkan perubahan untuk mengurangi emisi, memperkuat ketahanan iklim dan menunjukkan kemauan politik guna meneguhkan komitmen ini di tahun 2015 pada UNFCCC di Paris, Prancis.
Salah satu komitmen ambisius pengurangan emisi dilakukan oleh para pemimpin sub-nasional dari tujuh negara, yaitu para gubernur yang berasal dari Brazil, Indonesia, Meksiko, Nigeria, Peru, Spanyol dan Amerika Serikat yang tergabung dalam inisiatif GCF.
Dalam pertemuan di Rio Branco, Brazil bulan Agustus 2014, sebanyak 21 dari 26 anggotanya pun memberi komitmen ambisius dalam Deklarasi Rio Branco, di mana para anggota GCF bertekad untuk mengurangi deforestrasi sebesar 80 persen pada tahun 2020.
Analisa terbaru Earth Inovasi Institute menyatakan jika tercapai, aksi kolektif tersebut 3,8 miliar ton emisi CO2 akan dapat dihindari.
Deklarasi Rio Branco itu juga menyatakan para gubernur pengelola yurisdiksi ini berkomitmen untuk bekerja sama dengan pihak swasta dan masyarakat adat dalam upaya tersebut.