Senin 15 Sep 2014 10:44 WIB

Pengamat: Penolakan RUU Pilkada Pertanda Positif

Rep: Antara/ Red: Indah Wulandari
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan aksi tolak RUU Pilkada di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (14/9).  (Republika/ Tahta Aidilla)
Aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Pilkada melakukan aksi tolak RUU Pilkada di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Ahad (14/9). (Republika/ Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pro kontra pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) masih berlanjut dengan penolakan sejumlah kepala daerah. Sikap mereka dinilai menginginkan sebuah perubahan.

Sebagai bentuk penolakan pilkada tidak langsung, para kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) sempat akan melakukan aksi unjuk rasa di Bundaran HI, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Melihat sikap kepala daerah tersebut, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, melihat ada benang merah di antara kepala daerah yang menolak pilkada tak langsung tersebut.

"Para kepala daerah yang menolak opsi pilkada tidak langsung itu adalah mereka yang ingin melakukan reformasi dan terobosan positif untuk daerahnya," katanya, Senin (15/9).

Namun, kata Siti, bagai dua sisi mata uang, tidak semua kepala daerah yang dipilih oleh rakyat berkualitas karena hingga saat ini masih ada kepala daerah yang terjerat tindak pidana korupsi.

Oleh karena itu, katanya, pembahasan draf RUU Pilkada yang dilakukan saat ini adalah sebagai bentuk koreksi agar menghasilkan kepala daerah terbaik, baik itu dipilih oleh rakyat ataupun DPRD.

"Jadi saya melihat ini semua dilakukan agar pilkada secara umum itu ke depan bisa lebih berkualitas dan bermartabat, produktif, aplikatif untuk kemajuan bangsa ini," ujarnya.

Ia mengatakan, ada poin utama dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah terkait pro kontra yang mencuat saat ini tentang pilkada langsung dan tidak langsung.

Poin utama itu adalah penegakan hukum yakni reformasi birokrasi yang dilakukan oleh partai politik dengan cara menghasilkan kader terbaik sebagai kepala daerah.

"Jika kualitas peserta partainya belum baik, maka sistem apa pun yang akan diterapkan, hasilnya tetap akan seperti saat ini," katanya.

Siti berpesan kepada pemerintah dan DPR yang tengah membahas RUU ini sebelum ditetapkan menjadi UU Pilkada agar memutuskannya sesuai dengan teks konstitusional, filosofis, landasan yang jelas serta memenuhi konteks empirisnya hingga keputusan yang diambil bermanfaat besar bagi bangsa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement