REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Refly Harun mengatakan, ada banyak cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam menghemat pilkada. Karenanya, tak harus dengan menetapkan kepala daerah melalui DPRD.
"Dalam pembahasan RUU Pilkada, biaya yang menjadi alasan. Biaya penyelenggaraan dipersoalkan terlalu mahal. Kalau mau penghematan, ada banyak yang bisa dilakukan,” kata Refly di Jakarta, Selasa (9/9).
Menurutnya, ada banyak cara penghematan. Misalnya, melalui pemilu serentak.
Kedua, prosedur penghitungan suara tidak perlu melalui PPS dan PPK. Melainkan langsung ke kabupaten. Sehingga bisa memangkas waktu dan biaya.
Ketiga, dengan pemangkasan personel pengawas pemilu. Selama ini, banyaknya jumlah pengawas dinilai terlalu memakan biaya.
Refly mencontohkan, dalam satu provinsi ada 25 ribu pengawas yang dibayar Rp 100 ribu per orang. Artinya, negara sudah mengeluarkan Rp 2,5 miliar.
"Kalau pengawas ditiadakan biaya bisa lebih hemat. Pengawasan cukup oleh masyarakat, partai politik dan lembaga pemantau pemilu," kata Refly.
Selanjutnya, kata dia, penghematan bisa dilakukan dengan penyelenggaraan pemilu satu putaran. Pemenang pemilu ditentukan peraih suara terbanyak.
Kemudian, pembatasan pengeluaran dana kampanye, tidak hanya sumbangan yang dibatasi. Pembatasan modal kampanye, termasuk kampanye tanpa pengerahan masa, dinilai akan jauh lebih hemat.
"Banyak cara untuk menghemat proses pilkada agar murah. Tapi tidak bisa membandingkan biaya demokrasi pilkada langsung dan tidak langsung. Sebab, demokrasi menghendaki partisipasi masyarakat secara langsung," jelasnya.