REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Peneliti otonomi daerah dari Universitas Katolik Widya Mandiri Kupang Tomy Susu menilai, gagasan untuk mengembalikan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) melalui dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD), tidak sejalan dengan filosofi demokrasi.
"Gagasan mengembalikan pilkada melalui DPRD, tidak menyelesaikan masalah karena tidak sejalan dengan filosofi demokrasi dan partisipasi masyarakat dalam menentukan figur pemimpin yang layak dan pantas memimpin daerah," kata Tomy Susu di Kupang, NTT, Selasa.
Dia mengemukakan pandangan itu, terkait wacana Koalisi Merah Putih untuk mengembalikan pilkada dari pemilihan langsung oleh rakyat ke sistem pemilihan melalui perwakilan di DPRD.
Menurut dia, biaya politik jika pilkada dikembalikan ke DPRD memang lebih kecil, dibanding pilkada langsung tetapi merupakan risiko dari sebuah proses menuju kemandirian berdemokrasi di Indonesia.
"Memang, jika dilihat dari mahalnya manajemen penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bisa lebih efisien dan efektif, tetapi ongkosnya adalah pada dua aspek penting yakni demokrasi dan partisipasi masyarakat," ucapnya.
Dia mengatakan, kembali ke sistem demokrasi perwakilan merupakan langkah mundur dalam perjuangan bangsa ini menuju suatu tatanan hidup berdemokrasi.
Karena itu, sistem yang sudah terbangun dalam beberapa tahun terakhir ini tetap dilanjutkan, dengan tetap melakukan perbaikan-perbaikan terhadap kekurangan atau kelemahan selama proses ini berjalan.
Misalnya, jika sistem pemilihan langsung selama ini menelan biaya yang tinggi, maka bisa dicarikan solusi untuk menekan anggaran semaksimal mungkin, tuturnya.