REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay mengatakan, pemilihan kepala daerah langsung memiliki lebih banyak kerugian daripada manfaat.
Misalnya, membuat praktik korupsi di daerah menjadi meningkat. Buktinya, sudah lebih 325 orang gubernur, bupati atau wali kota yang ditetapkan tersangka dan dijatuhi hukuman. Padahal, pilkada langsung baru dilaksanakan delapan tahun terakhir.
"Pilkada langsung membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Andaikata pilkada langsung menghabiskan antara Rp 20-30 miliar, kalikan saja dengan 500 kabupaten atau kota. Itu belum termasuk pilkada gubernur di 34 provinsi yang ada. Biaya demokrasi yang besar seperti itu lebih baik dimanfaatkan untuk pembangunan," ujar Saleh saat dihubungi Republika Senin (8/9).
Ia menjelaskan, jika ada pasangan yang tidak senang dengan hasil pemilu, maka akan diselesaikan di Mahkamah Konstitusi. Ini yang kemudian malah menimbulkan potensi korupsi baru.
Akibatnya, kata dia, mantan ketua MK ikut melakukan korupsi terkait kasus sengketa pilkada yang ditanganinya.
"Semestinya, pemerintah, anggota legislatif, dan masyarakat lebih fokus untuk melaksanakan program pembangunan. Jika ada pilkada, fokus akan terbelah. Birokrasi di pemerintahan pun tidak jarang terpecah," katanya.
Ia menambahkan, adanya pilkada langsung juga membuat gubernur, bupati atau wali kota tidak fokus jelang akhir masa jabatannya. Karena mereka akan fokus menyiapkan diri dalam menghadapi pilkada berikutnya.
Sering sekali, tambah dia, program pembangunan hanya diarahkan dalam konteks pemenangannya dalam pilkada.