REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Alwi Shahab
Kawasan Monas dewasa ini terus ditertibkan dari para pedagang kaki lima (PKL) yang berjualan di tempat bersejarah ini. Penertiban juga dilakukan terhadap parkir liar yang marak terdapat di kawasan tempat berdirinya Monumen Nasional (Monas) yang dibangun Bung Karno.
Meski telah berkali-kali ditertibkan, para pedagang dan parkir liar terus membandel. Sementara, Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak dibikin kapok atau jera untuk menertibkan mereka. Rupanya, dia ingin membuktikan sebagai seseorang yang bakal menjabat gubernur ini, Basuki tegas dan bertangan besi, seperti pernah dilakukan gubernur Ali Sadikin saat memimpin Jakarta.
Monas pada masa Belanda berada di Koningsplein (Lapangan Raja) karena di depannya berdiri Istana Merdeka. Sedang, di masa pendudukan Jepang merupakan tempat tinggal perwira Dai Nippon yang mengatur pemerintahan dari tempat ini.
Pada Maret 1942 Belanda menyerahkan kekuasaannya pada Pemerintah Jepang. Kemudian, warga Belanda di Indonesia diinternir sebagai tahanan yang disiapkan diberbagai tempat. Ketika Jepang menduduki Indonesia, rakyat berbondong-bondong menyambut kedatangannya dengan Program 3A-nya yang terkenal, yakni: Jepang pemimpin Asia, Jepang Sinara, dan Pelindung Asia.
Pada masa pendudukan Jepang, melalui sekolah-sekolah, rakyat diwajibkan mengikuti taiso, semacam olah raga badan. Pada masa pendudukan Jepang, terkenal polisi rahasianya bernama Kempetai. Markas mereka di bekas tempat polisi Belanda, yakni di Hopbiro. Nama Hopbiro berasal dari bahasa Belanda, artinya Kantor Pusat Polisi.
Pada 1970 markas polisi yang terletak di Ikada (nama lapangan sepak bola masa itu) dipindah ke Kodam Jaya di Senayan, hingga saat ini. Polisi rahasia Jepang atawa Kempatai yang bermarkas di bekas kantor polisi Belanda, jauh lebih kejam dan sangat ditakuti masyarakat. Mereka main pukul dan tendang saat mengadili sambil berteriak bagero.
Pada masa pendudukan Jepang, para intel selalu mengingatkan agar rakyat berhati-hari terhadap ‘mata-mata musuh'. Spanduk-spanduk ini melekat di jalan-jalan. Pada masa itu mereka yang dituduh mata-mata musuh bila tertangkap dan dipenjarakan. Biasanya, pulang hanya tinggal nama.
Di masa Jepang, mata-mata musuhlah yang paling mereka curigai. Jepang sendiri menjajah Indonesia sejak Maret 1942 hingga Agusus 1945 karena tertarik dengan minyak yang pada masa itu dibutuhkan di masa perang.
Sebelum dibangun Monas yang penyelesaiannya dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru Soeharto, di Ikada berlangsung kompetisi-kompetisi Persija dan Kompetisi antarklub dari seluruh Indonesia. Para pemain terkenal dari Persija kala itu adalah Van der Vin, seorang Indo-Belanda yang pada 1950-an memilih tinggal di Indonesia. Sementara, sebagian orang Indo kembali ke negaranya.
Bintang sepak bola Persija lainnya yang terkenal pada medio 1950-an adalah Tan Liong Hou, Kwsee Kiat Sek, San Liong, Tek Eng, Moheng, Wimpie, dan Sian Liong. Sengaja saya memilih pemain Keturunan karena pada 1950 pemain-pemain inilah yang berjaya di PSSI.
Dalam masa-masa ini kemudian muncul pemain legendaris Ramang, Witarsa, Suardi, Erland, dan kakak beradik dari Medan, Ramli dan Ramlan.
Kembali ke Lapangan Monas, tempat ini merupakan lapangan terluas di dunia dengan luas hampir satu juta kilometer persegi. Ketika Gubernur Jenderal Daendels membangun lapangan yang merupakan lahan untuk memelihara kerbau, beberapa tempat dan kantor pemerintahan mulai dibangun di pinggir lapangan yang luas ini. Termasuk, Kantor Wakil Presiden yang letaknya di samping Balai Kota DKI Jakarta.
Juga, dibangun Istana Merdeka dan gubernur pertama yang tinggal di sini setelah kekuasaan Inggris adalah Baron van Capeller. Belanda juga membangun Pasar Gambir untuk memperingati kelahiran Ratu Belanda Wilhelmina pada 31 Agustus 1896. Kemudian, Ali Sadikin mendirikan Jakarta Fair di tempat ini.