REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses pembuatan rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang (UU) masih boros anggaran. Efisiensi anggaran tidak terjadi lantaran DPR dan pemerintah terlalu bertele-tele dalam membahas muatan materi undang-undang.
"Banyak materi muatan yang seharusnya cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan justru dipaksakan diatur dengan UU," kata pakar konstitusi Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono dalam Seminar Nasional dan Peluncuran Buku "Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia" di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (1/9).
Inefisiensi anggaran dalam pembuatan UU juga menjadi cermin rendahnya produktifitas DPR dan pemerintah dalam menghasilkan undang-undang yang berkualitas. Program Legislasi Nasional (prolegnas) periode 1999-2004 misalnya menetapkan 300 RUU untuk menjadi UU, namun yang berhasil disahkan hanya 175 UU (58 persen).
Prolegnas periode 2004-2009 menetapkan 284 RUU dengan total UU yang disahkan berjumlah 193 (68 persen). Pada 2009-2014 prolegnas menetapkan 247 RUU namun capaian akhir UU yang disahkan hanya berjumlah 97 (39 persen).
"Kajian Bappenas tahun 2010 anggaran pembentukan RUU di pemerintah ada yang mencapai Rp 3 sampai Rp 10 miliar. Sementara di DPR Rp 3 sampai Rp 7 miliar," ujar Bayu.
Pembentukan UU yang tidak efisien dan rendah kualitas tidak sepenuhnya menjadi kesalahan pemerintah dan DPR. Bayu mengatakan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang juga menjadi faktor yang menentukan.
Menurutnya, undang-undang yang berkualitas tidak hanya menjamin kepastian hukum, tapi juga azas kemanfaatan, dan keadilan.