REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemprov Jawa Barat telah menyalurkan dana bagi hasil pajak rokok triwulan I kepada hampir seluruh kabupaten/kota di Jabar. Nilainya, mencapai Rp1,03 miliar lebih.
Menurut Plt Kepala Dinas Pendapatan Daerah (Dispenda) Jabar, Iwa Karniwa, realisasi pajak rokok hingga triwulan II mencapai Rp 639 miliar lebih atau sekitar 40,52 persen dari target penerimaan pajak rokok 2014 sebesar Rp1,578 triliun lebih.
"Realisasi triwulan I telah disalurkan ke kabupaten/kota. Hanya tinggal empat daerah yang belum mengajukan untuk realisasi triwulan I," ujar Iwa kepada wartawan, Kamis (21/8).
Menurut Iwa, keempat daerah yang belum mengajukan adalah Kabupaten Bandung, Kota Bogor, Kota Tasikmalaya, dan Kabupaten Pangandaran. Sebagaimana pajak daerah provinsi lainnya, pajak rokok juga wajib dibagihasilkan kepada kabupaten/kota dengan proporsi 30 persen untuk provinsi dan 70 persen untuk kabupaten/kota.
Iwa mengatakan, penyaluran bagi hasil pajak rokok triwulan I kepada kabupaten/kota tersebut akan dilanjutkan dengan penyaluran bagi hasil pajak rokok triwulan II. Realisasinya, mencapai Rp526,291 miliar lebih. "Oleh karena itu, kabupaten/kota diminta segera menganggarkan target penerimaan pajak rokok dalam APBD masing-masing," katanya.
Iwa menjelaskan, penetapan pajak rokok sebagai salah satu pajak daerah juga didasarkan pada pertimbangan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Yakni, untuk meningkatkan kemampuan daerah dalam menyediakan pelayanan publik khususnya pelayanan kesehatan, mengendalikan dampak negatif rokok, melindungi masyarakat atas bahaya dampak negatif rokok, dan membatasi konsumsi rokok dan peredaran rokok ilegal.
Dikatakan Iwa, pemanfaatan hasil pajak rokok, baik bagian provinsi maupun kabupaten/kota, 50 persennya digunakan untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat, kegiatan penanganan masalah kesehatan yang belum didanai dari APBN, APBD, DAK, DAU, Dana Dekon TP, Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), dana bantuan operasional kesehatan dan sumber pembiayaan kesehatan lainnya di masing-masing daerah.
Selain itu, kata dia, hasil pajak rokok juga digunakan untuk penegakan hukum oleh aparat berwenang. Yakni, untuk pembangunan dan pemeliharaan unit pelayanan kesehatan, penyediaan smoking area, kegiatan sosialisasi bahaya merokok, hingga pembuatan iklan layanan masyarakat terkait bahaya merokok.
Menurut Iwa, pemungutan pajak rokok ini baru pertama kali dilakukan, baik oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Iwa mengakui, banyak hal yang belum sepenuhnya dipahami aparat daerah di provinsi maupun kabupaten/kota. Misalnya, tentang bagaimana pajak rokok ini disetorkan, diterima, dan dibagihasilkan kepada kabupaten/kota hingga bagaimana hasil pemungutan itu dimanfaatkan.
Oleh karena itu, kata dia, Ia kembali akan menggelar rapat koordinasi (rakor) lanjutan yang sebelumnya telah dilaksanakan bersama dengan rakor intensifikasi PPH pasal 21 dan PPH OPDN, dan April 2014 lalu. Rakor lanjutan tersebut akan diselenggarakan dalam bentuk forum group discussion (FGD) agar lebih lebih efektif dan tepat sasaran.
Rakor tersebut, kata dia, bertujuan untuk melihat sejauhmana mekanisme dan prosedur pemungutan pajak rokok dilaksanakan, pemanfaatan pajak rokok khususnya di bidang kesehatan dan penegakan hukum, serta untuk mengidentifikasi permasalahan dalam pelaksanaan pajak rokok.
Pesertanya, kata dia, adalah unsur dinas pendapatan kabupaten/kota se-Jabar, unsur bappeda kabupaten/kota se-Jabar, OPD pengguna dana pajak rokok dan tim TPAD Provinsi Jabar, serta cabang pelayanan dinas pendapatan provinsi Jabar.
"Rakor pun digelar untuk meningkatkan pemahaman dan menyamakan persepsi," katanya.