REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah ingar-bingar pilpres, nyaris tak tersisa ruang untuk golput. Sebab, ada banyak alasan untuk memilih. Bahkan, memilih bukan lagi semata karena setuju dan kagum pada kandidat serta visi, misi, dan programnya, tapi ada pula yang sengaja memilih kandidat tertentu karena tidak ingin kandidat lain dan gerbongnya, yang menu rutnya berbahaya, akhirnya menang dan berkuasa.
Lembaga-lembaga survei pun menga barkan bahwa angka partisipasi akan meningkat. Pasalnya, angka pemilih yang belum memutuskan (undecided voters), terus menurun. Lingkaran Survei Indonesia (LSI), misalnya, dalam survei awal Mei mendapati undecided voters masih sekitar 41,8 persen. Tapi, angkanya turun dratis dalam survei 1- 9 Juni, tinggal 16 persen.
Bakal menurunnya angka golput, juga dikonfirmasi Poltracking dan Indobarometer. Pada survei 23 Mei-3 Juni, Poltracking mendapati yang belum menentukan tinggal 10,4 persen. Dalam survei yang hampir bersamaan, yaitu 28 Mei-4 Juni, Indobarometer menyatakan tinggal 11 persen yang belum memutuskan, dan rahasia 1,5 persen. Sedangkan, yang menyatakan tidak akan memilih, menurut Indobarometer, angkanya tinggal secuil, yaitu 0,1 persen!
Dan, itu kemudian terbukti saat hari pencoblosan. Betapa tidak, di beberapa tempat pemungutan suara, pemilih membludak. Bahkan, di Hongkong, ratusan tenaga kerja Indonesia akhirnya mendemo penyelenggara pemilu, karena sudah datang jauh-jauh, tak bisa memilih. Penyebabnya, TPS di Victoria Park harus ditutup pukul 17.00 waktu setempat, saat saat banyak TKI belum memilih.
Tapi, realitas media yang menggambarkan pilpres ini dengan gegap gempita, ternyata bak fatamorgana. Sebab, setelah seluruh surat suara selesai dihitung, ternyata partisipasi pemilih dalam pilpres ini hanya 69,58 persen, terendah sepanjang pemilu Indonesia. Dengan sendirinya, jumlah golput pun meningkat. Saat ini, angkanya 30,42 persen, atau setara dengan 58,99 juta pemilih.