Selasa 15 Jul 2014 16:17 WIB

Ical Didesak Mundur

Rep: c87/ Red: Mansyur Faqih
Politisi senior Partai Golkar (kiri ke kanan) Zainal Bintang, Fahmi Idris, Ginandjar Kartasasmita, Andi Matalatta dan Yorrys Raweyai memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung Perintis Kemerdekaan Jakarta, Selasa (15/7).
Foto: antara
Politisi senior Partai Golkar (kiri ke kanan) Zainal Bintang, Fahmi Idris, Ginandjar Kartasasmita, Andi Matalatta dan Yorrys Raweyai memberikan keterangan kepada wartawan di Gedung Perintis Kemerdekaan Jakarta, Selasa (15/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aburizal Bakrie (Ical) didesak mundur dari posisi Ketua Umum Partai Golkar. Ini menyusul kegagalan partai dalam lima tahun terakhir.

"Yang terbaik Aburizal Bakrie mengundurkan diri. Tidak ada alasan Aburizal Bakrie tampil di berbagai forum sedangkan jejak yang ditingggalkannya menimbulkan citra yang tidak baik bagi Partai Golkar," kata politikus senior Partai Golkar, Fahmi Idris di Jakarta, Selasa (15/7).

Fahmi mengatakan, berbagai peristiwa menunjukkan Golkar tak memiliki taji dalam lima tahun terakhir. Termasuk kemampuan dalam membina anggota.

Menurutnya, para kader muda harus diberi kesempatan. Tidak boleh lagi ada pimpinan di Golkar yang tidak diketahui riwayat hidupnya. 

"Kami menyerukan pimpinan Partai Golkar di seluruh Indonesia untuk melakukan langkah perbaikan. Memang perlu perubahan besar-besaran. Golkar harus dimanajemen secara modern, tidak boleh dimanajemen seperti perusahaan," kata Fahmi. 

Politikus senior lain, Andi Matalatta menambahkan, hasil pileg 2014 merupakan pencapaian partai yang paling rendah selama reformasi. Pada pileg 2014, Golkar mendapat 91 kursi. Sedangkan pada pileg 2009 bisa memperoleh 106 kursi legislatif. 

Padahal, tingkat kesulitan pileg 2014 dianggap lebih rendah lantaran peserta hanya 12 partai. Jauh dibanding pemilu 2009 yang pesertanya mencapai 38 parpol. Ditambah, pada 2014 tak ada tokoh nasioal Golkar yang bisa menyedot suara rakyat. 

Alasan penyelamatan, kata Andi, karena ingin Golkar kembali ke jalan yang benar sesuai AD/ART. Prosesnya antara lain diawali dengan paradigma baru.

"Intinya ingin membangun parpol yang modern, demokratis dan terbuka. Terbuka itu menghargai kemajemukan. Pimpinan seharusnya mampu memanajemen perbedaan yang ada menjadi kekuatan. Tidak justru dihadapi dengan kekuatan otoriter," kata Andi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement