REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan gaji hakim agung harus dibarengi dengan peningkatan kinerja dan kualitas putusan di tubuh Mahkamah Agung (MA). Pemerintah harus memiliki tolok ukur agar pemberian apresiasi yang besar itu bukan hanya menjadi beban APBN.
Pemerintah bersedia menaikkan gaji hakim agung dua kali lipat dari penghasilan sebelumnya. Peningkatan itu berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55/2014 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim Agung dan Hakim Konstitusi.
Senin (7/7), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani PP tersebut. Gaji ketua MA yang awalnya hanya Rp 40 juta per bulan sekarang menjadi Rp 121 juta. Sedangkan anggota hakim agung dari Rp 29,6 juta menjadi Rp 72 juta per bulan.
"Jangan sampai, ada kenaikan gaji, namun kinerja MA tak mengalami perubahan," kata pengamat hukum Universitas Parahyangan, Bandung, Ahad (13/7).
Dia menambahkan, pemerintah harus memperhatikan tiga faktor atas kenaikan gaji tersebut. Pertama, jangan sampai pemberian gaji besar itu membenani anggaran. Kedua tidak menciptakan kesenjangan dengan penyelenggara negara lain. Ketiga, peningkatan kualitas MA.
Menurut Asep, perlu ada tolok ukur, apakah kenaikan gaji sejalan dengan kinerja dan kualitas lembaga peradilan tertinggi itu. Tunjangan yang mereka terima bisa dikurangi kalau tak terlihat perubahan signifikan terhadap citra peradilannya.
"Saya setuju, cara memberantas mafia peradilan dan wujudkan hukum berkualitas adalah dengan meningkatkan kesejahteraan para hakimnya. Secara teori, itu adalah pendekatan yang cocok," ujar dia.
Dikatakan, tak sembarangan orang dapat menjadi hakim agung. Jika sekarang mereka memperoleh pengasilan yang besar, maka harus ada sanksi yang tepat. Tuntutan semumur hidup bagi mantan Ketua MK, Akil Mochtar dapat menjadi terapan di MA.
Ketua KY, Suparman Marzuki menambahkan, kenaikan gaji tersebut juga akan diikuti pemberian sanksi yang lebih ketat bagi hakim agung yang terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim. KY tak akan lagi mentoleransi penyimpangan yang diduga dilakukan para hakim agung ke depannya.
"Para hakim agung harus menyesuaikan diri dan menigkatkan kinerja kualitas putusannya," kata Marzuki.
Ia memberikan apresiasi kepada pemerintah atas kebijakannya menaikan gaji hakim agung. Apalagi, sudah seharusnya seorang hakim MA memperoleh penghasilan dengan besaran nominal itu. Sebab akan ada dampak moral ke para penerimanya.
Marzuki berharap, mereka tidak lagi mengeluh soal rendahnya gaji yang diterima jika dibandingkan dengan gaji hakim peradilan di bawahnya.
Ketua Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) Cabang MA, Gayus Lumbuun menambahkan, kenaikan gaji tersebut sudah pas dengan kebutuhan para hakim agung. Hal ini dinilainya dapat menjadi solusi atas kebutuhan para hakim agung memperoleh apresiasi negara.
"Karena tugas hakim agung berat, perkara yang menumpuk, waktu yang tercurahkan, sampai tidak pulang, tangung jawabnya besar. Dengan gaji sekarang, tidak ada lagi alasan mengeluh," ujar dia.