Sabtu 12 Jul 2014 06:30 WIB

Ketua KPK Permalukan Diri Komentari UU MD3

Rep: Muhammad Akbar Wijaya/ Red: Esthi Maharani
Abraham Samad.
Foto: Republika/ Wihdan
Abraham Samad.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Pansus Rancangan Undang-Undang MPR, DPR, DPD, DPRD (RUU MD3), Achmad Yani mengkritik pernyataan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad yang menyebut revisi UU MD3 melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Yani meminta para pimpinan KPK tidak gampang mengumbar pernyataan yang belum mereka ketahui kebenarannya.

"Pernyataan yang sangat memalukan karena yang disampaikan KPK salah," kata Yani kepada wartawan di Jakarta, Jum'at (11/7).

Samad KPK mestinya memastikan nilai kebenaran informasi yang dia terima sebelum menyampaikannya kepada publik. Sebab informasi yang salah justru akan menciptakan kekisruhan yang tidak perlu.

"Kita berharap dari dulu aparat penegak hukum jangan terlalu banyak omong hal-hal yang tidak mereka ketahui. Jadi ada polemik," ujarnya.

Sebelumnya Ketua KPK Abraham Samad menilai revisi UU MD3 melemahkan semangat pemberantasan korupsi. Sebab menurutnya UU tersebut mengharuskan lembaga penegak hukum mendapat izin presiden apabila ingin memeriksa anggota DPR.  

Padahal, dalam Pasal 245 tentang Penyidikan di UU MD3, tidak ada klausul yang menyebut penegak hukum mesti meminta izin presiden apabila ingin memeriksa anggota DPR yang tersandung kasus korupsi.

"Pasal 245 (1) Pemangilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan," bunyi Pasal 245 ayat 1.

Dalam ayat 3 Pasal 245 dijelaskan apabila KPK ingin memeriksa anggota DPR yang terkena kasus tindak pidana khusus (korupsi) tidak perlu meminta izin Mahkamah Kehormatan Dewan.

"Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: a. Tertangkap tangan melakukan pidana. b. Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau. c. Disangka melakukan tindak pidana khusus," demikian bunyi Pasal 245 ayat 3.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement