REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Kelompok Kerja Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kementerian Luar Negeri mengklarifikasi isu kisruh pemungutan suara di Hong Kong, Ahad (6/7) kemarin. Dipastikan tidak ada kesengajaan menghalangi hak konstitusi pemilih dan tekanan agar WNI memilih pasangan calon presiden tertentu.
"Jam 17.00 itu antriannya sudah sedikit, lalu setelah itu datang beberapa orang mungkin sekitar 100-an orang yang menuntut menggunakan hak pilihnya. Tetapi setelah konsultasi dengan Bawaslu, Komisioner KPU, dan saksi memang sudah tidak memungkinkan lagi, maka dengan sangat menyesal PPLN tidak bisa memfasilitasi mereka," kata Ketua Pokja PPLN Wahid Supriyadi, di kantor KPU, Jakarta, Senin (7/7).
Menurut Wahid, penggunaan Victoria Park yang dijadikan tempat membangun TPS disepakati dengan pemerintah Hong Kong hingga pukul 17.00 waktu setempat. PPLN membangun 13 TPS untuk mengakomodir pemilih yang jumlahnya sekitar 25.000 pemilih.
Bagi pemilih yang telah datang dari pagi, namun belum tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap Luar Negeri (DPTLN) diberikan kesempatan memilih dua jam sebelum TPS ditutup. Wahid mengatakan, 100 pemilih yang belum terakomodasi itu merupakan pemilih yang belum tercantum dalam DPT.Sesuai aturan KPU, TPS dibuka selama 10 jam. Untuk wilayah Victoria Park, TPS disepakati ditutup
"Masalahnya mereka datang setelah TPS ditutup. Dan setelah berkoordinasi dengan Bawaslu, KPU, dan saksi pasangan calon, PPLN tidak mungkin melanggar aturan yang ada," jelasnya.
Jika kemudian banyak pemberitaan mengenai sikap PPLN bahkan petugas konsulat yang tidak netral, Wahid membantah kebenarannya. Karena PPLN yang bertindak sebagai penyelenggara juga berasal dari anggota masyarakat. Staf dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) yang bertindak sebagai PPLN menurutnya hanya dua orang. Yang bertindak sebagai sekretariat dan bendahara.
Sebelumnya, pada Ahad sore, jejaring sosial facebook dan twitter diramaikan isu tentang pemilu di Hong Kong yang nyaris rusuh. Lantaran ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) tidak bisa menggunakan hak pilihnya di TPS yang dibangun di Victoria Park, Hong Kong.
Mereka tidak bisa memilih karena TPS sudah ditutup pada pukul 17.00 waktu setempat. Sementara penyelenggara pemilu disebut tidak berupaya mengakomodir kepentingan pemilih.