Ahad 06 Jul 2014 21:07 WIB

Greenpeace: Debat Capres Gagal Jelaskan Perlindungan Lingkungan

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Asep K Nur Zaman
Greenpeace
Greenpeace

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang lingkungan, Greenpeace Indonesia, tidak puas dengan debat terakhir dua pasangan calon presiden/wakil presiden, Sabtu malam kemarin. Mereka menilai, baik pasangat Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK), gagal menjelaskan penyelarasan pembangunan ekonomi, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan.

Kepala Greenpeace Indonesia, Longgena Ginting, mengungkapkan, dalam debat pamungkas masa kampanye itu, kedua pasangan capres tidak tegas menjelaskan dan menjawab akar masalah krisis energi, pangan, dan lingkungan. “Tidak mungkin mempertahankan pertumbuhan ekonomi di dalam lingkungan hidup yang terdegradasi," katanya, Ahad (6/7).

Dia mencontohkan, Prabowo justru mengatakan masyarakat perlu diberi pendidikan agar tidak merambah hutan. Padahal, pendorong utama kerusakan hutan adalah ekspansi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri skala besar.

Meski demikian, Longgena mengapresiasi komitmen Prabowo untuk memberi sanksi keras terhadap korporasi perusak hutan. Menurutnya, hal ini membutuhkan pengujian dalam implementasi penyelesaian kasus kebakaran hutan, korupsi sumber daya alam, serta konflik pengelolaan sumberdaya alam.

Sementara itu, kebijakan satu peta (one map policy) yang dilontarkan Jokowi, dinilainya sebagai satu langkah baik menuju transparansi kehutanan. Meski bukan ide baru, kata Longgena, tetapi selama ini belum ada yang mengimplementasikan kebijakan satu peta.

“Namun komitmen penyelesaian tumpang tindih perizinan di kawasan hutan seharusnya diawali dengan memperkuat dan memperpanjang kebijakan morarium yang akan berakhir pada Mei 2015, termasuk melihat kembali perizinan yang ada saat ini. Sehingga bisa sejalan dengan ide one map policy,” ujar Longgena.

Hal lain yang harus diapresiasi dalam debat semalam adalah prioritas diversifikasi energi dari sektor energi baru terbarukan (EBT). Prabowo dan Hatta dinilainya telah menjabarkan langkah peningkatan EBT yang lebih konkret melalui insentif dan sistem feed in tarif. Pasangan ini juga memiliki target yang jelas, yaitu lebih dari 25 persen pada 2030.

Bahkan, Hatta juga mengungkapkan ketergantungan terhadap energi fosil adalah langkah jangka pendek, sudah saatnya Indonesia beralih pada EBT.

Sementara Jokowi dan JK ingin mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar miyak (BBM) dengan perbaikan transportasi massal di kota-kota besar sebagai salah satu solusi efisiensi penggunaan energi dan subsidi.

Namun Longgena mencatat kedua pasangan masih mengandalkan pengembangan energi fosil melalui eksplorasi dan eksploitasi sumur baru, dan mengaktifkan sumur-sumur tua. Menurutnya, transisi dari energi fosil menuju energi bersih terbarukan perlu segera dijalankan.

“Jokowi-Hatta belum melakukan penjabaran teknis tentang pembangunan rendah karbon yang seharusnya bisa menjadi prioritas baru untuk pembangunan ekonomi Indonesia masa depan,” ujarnya.

Sementara Prabowo-Hatta, kata dia, hanya melihat masalah ini dari segi pertumbuhan penduduk. Belum menyoroti bahwa overeksploitasi sumber daya alam (SDA) Indonesia secara besar-besaran adalah penyumbang utama kerusakan alam Indonesia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement