REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Guru Besar Politik Universitas Airlangga (Unair), Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim), Ramlan Surbakti menyatakan partai politik (parpol) di Indonesia gagal menjalankan fungsi representasi politik karena hanya bertujuan mencari kekuasaan (power seeking).
Ramlan menceritakan, sebenarnya sebuah pemerintahan yang efektif bisa dilihat dari dua indikator. Indikator pertama yaitu pemerintahan yang mampu membuat kebijakan publik sesuai dengan kehendak rakyat. Menurutnya selama ini kepentingan rakyat belum tentu sesuai kehendak rakyat.
“Bagaimana caranya agar kebijakan publik pemerintahan seperti undang-undang (UU), Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesuai kehendak rakyat yaitu melalui representasi politik partai politik (parpol) dan institusi demokrasi,” ujarnya saat seminar bertema "Mendalami Visi, Misi, Program Jokowi-JK: Reformasi Birokrasi dan Efektivitas Pemerintahan", di Surabaya, Selasa (1/7).
Sementara indikator kedua pemerintahan efektif yaitu kebijakan publik itu dapat diimplementasikan menjadi kenyataan. Bahkan, indikator itu yang penting dalam reformasi birokrasi karena sebuah birokrasi harus mampu diimplementasikan. Tetapi sayangnya, dia melanjutkan, titik lemah birokrasi di Indonesia adalah implementasi.
Contohnya proyek kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) yang memakan biaya triliunan rupiah dan ditargetkan dapat diterapkan dalam dua tahun ternyata belum bisa diterapkan di beberapa pemerintahan daerah (pemda). Selain itu, praktik pelaksanaan proyek Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ternyata dinilainya lebih buruk dibandingkan proyek Asuransi Kesehatan (Askes).
Sementara parpol yang notabene pintu masuk pemimpin eksekutif atau legislatif dinilainya gagal mewujudkan representasi politik mewujudkan pemerintahan yang efektif.
“Menurut saya, parpol di Indonesia lebih fokus mencari kekuasaan,” ujarnya.
Fungsi parpol sebagai representasi politik, kata dia, hanya formalitas dan belum substansial menyentuh kebijakan. Menurutnya, ada tiga hal yang menyebabkan parpol belum menjalankan fungsi representasi politik. Pertama karena parpol dalam lingkungan internal belum dikelola secara demokratis.
Menurutnya, kondisi parpol secara internal masih oligarki bahkan personal. Faktor kedua yaitu sumber keuangan parpol yang masih dibiayai kader partai yang bersangkutan. Dia mencontohkan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus dipotong sampai 30 persen untuk diberikan ke parpolnya. Akhirnya parpol yang seharusnya menjalankan amanat konstitusi tetapi dibiayai oleh swasta dan gagal melakukan representasi politik.
“Untuk itu saya usulkan keuangan parpol berasal dari APBN dan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk menjalankan fungsi rekrutmen maupun koordinasi,” katanya. Masukan kedua yaitu bagaimana parpol harus terus didorong agar menjalankan fungsi representasi politik.