REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah bayang-bayang beleid internasional antiproduk berbahan tembakau yang disebut Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), ancaman terhadap industri rokok juga datang dari produk beleid dalam negeri.
Pada 24 Juni nanti, Pemerintah Pusat akan memberlakukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. PP 109 itu jelas membuat pabrikan rokok meradang. Karenanya, pada Kamis (12/6) kemarin, 31 pemilik pabrik rokok kecil dari berbagai daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur itu melakukan aksi di depan Kementerian Kesehatan.
Mereka tegas menyatakan tak akan mematuhi PP 109 tersebut. “Aturan itu bukan lagi memberatkan, tapi mematikan kami,” tegas Rusdi Rahman, Ketua Komunitas Perusahaan Rokok Kudus (Koperku) kepada wartawan seusai aksi.
Para pemilik pabrik itu bahkan tak peduli meski, PP 109 juga mendalilkan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta bagi para pihak yang tak mematuhi aturan tersebut.
Dalam pertemuan itu, pihak Kemenkes hanya diwakili Risti, salah satu staf humas Kemenkes. Dalam PP 109 dan produk hukum turunannya, yakni Peraturan Menteri Kesehatan Nomor Nomor 28 Tahun 2013 tentang Pencantuman Peringatan Kesehatan dan Informasi Kesehatan pada Kemasan Produk Tembakau. Aturan tersebut mengharuskan setiap kemasan rokok memasang gambar bahaya merokok sebesar 40 persen dari keseluruhan kemasan.
Rusdi menyebut, dengan aturan itu pemerintah telah menggali kuburan bagi ratusan pabrik rokok kecil yang tersebar di berbagai daerah. Dengan mengubah kemasan, biaya produksi bisa bertambah 15 persen.
Belum lagi, kata dia, aturan-aturan lain mulai soal besaran cukai hingga cap bahwa rokok sebagai pembunuh. “Masalah psikologis itu yang paling berat. Kenapa kami dijustifikasi sebagai pembunuh?” ujar Rusdi.
Rusdi, yang juga Direktur Utama Pabrik Rokok Paku Bumi asal Kudus, Jawa Tengah, meminta Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi membuat iklan larangan merokok sendiri bukan dibebankan kepada industri. “Kalau itu kepentingan Menteri Kesehatan ya harusnya Menteri Kesehatan membuat iklan sendiri, bukan dibebankan pada kami,” katanya.
Sikap senada disampaikan Indra G Windiaz, Koordinator Komunitas Kretek wilayah Jakarta, yang menyayangkan sikap Kemenkes yang dinilai diskriminatif terhadap produk lokal. Menurut Windiaz, merokok bukanlah sesuatu yang bersifat adiksi atau membuat orang kecanduan. “Ini cuma soal kebiasaan,” ujarnya.
Pemerintah menurut Windiaz seharusnya memberi perlindungan masyarakat dari bahaya asap rokok dengan melindungi juga perkokok. “Harus ada himbauan bagi kontraktor untuk membangun tempat khusus perokok yang layak di gedung-gedung dan fasilitas umum sebagai bentuk perlindungan bagi perokok dan bukan perokok, bukan peraturan yang menguntungkan pihak asing,” kata Windiaz mengakhiri.