Jumat 06 Jun 2014 01:50 WIB

Akil Jabarkan Soal CV Ratu Samagat dan Tambak Ikan Arwananya

Rep: Gilang Akbar Prambadi/ Red: Mansyur Faqih
Terdakwa Akil Mochtar menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/6).
Foto: Wihdan Hidayat/Republika
Terdakwa Akil Mochtar menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/6).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa sejumlah kasus suap ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Akil Mochtar ditagih janjinya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.

Janji tersebut soal permintaan Majelis Hakim kepada Akil agar dapat menjelaskan dua jenis usaha yang selama ini kerap disebut oleh mantan ketua MK itu dalam persidangan selama ini. Kedua usaha itu adalah perkebunan kelapa sawit dengan perusahaan CV Ratu Samagat yang dimiliki atas nama istri Akil Ratu Rita. Lalu, usaha kolam ikan arwana milik Akil yang beromzet miliaran rupiah.

Dijelaskan oleh Akil, usaha tambak ikan arwana yang dijalankan di Kalimantan Barat (Kalbar) itu sudah digeluti sejak 2010. Modalnya berasal dari penjualan tanah yang digunakannya sebesar Rp 1 miliar. "Ada izinnya?" tanya Ketua Majelis Hakim Suwidya

"Tidak, karena kami hanya urus penangkaran," jawab Akil.

Ia menjelaskan, dalam penangkaran ikan arwana jenis golden-red, red, dan super red itu memang tidak berizin. Namun, untuk urusan ekspor, badan usaha yang menanganinya memiliki izin.

Akil melanjutkan, tanggung jawab penangkaran delapan kolam arwana seluas satu hektare ini diserahkan kepada pegawainya, Daud. "Itu delapan kolam di beda-beda lokasi," ujarnya.

"Ada nilai keuntungan tiap per berapa hari atau bulan?" tanya majelis hakim.

"Hasil panen ikan arwana tidak menentu, itu untung-untungan tapi total penjualan selama empat tahun usaha itu Rp 2,257 miliar," jawab Akil.

Akil menjelaskan, ikhwal keuntungan itu bisa diketahui dari harga standar pasaran yang ada. Dia berujar, secara rill pengembangbiakan satu induk arwananya bisa berkembang biak menjadi 40-60 ekor.

"Satu ekornya punya harga Rp 2,5 juta. Dari keuntungan ini dibagi juga dengan Daud. Pernah saya terima cash Rp 200-300 jutaan waktu itu karena harus kembal dibelikan pakan ternak," kata Akil.

Ia juga sempat memerintahkan sopir pribadinya Daryono untuk mengambil uang kepada Daud. Tak tanggung-tanggung, jumlah tunai yang Daryono ambil dari usaha ini sebesar Rp 1 miliar.

Kemudian untuk usaha keduanya, CV Ratu Samagat. Akil mengatakan perkebunan kelapa sawit itu dikelola oleh sebuah koperasi lokal di Pontianak, Kalbar. Tetapi, tanggung jawab perawatan perkebunan diserahkan ke CV yang didirekturi oleh istrinya itu. Pernah dikatakannya ia merevitalisasi perkebunan sawit ini dengan dana sebesar Rp 4 miliar. 

"Keuntungan dari sini Rp 17 miliar," kata Akil tentang perusahaan yang beroperasi hanya dua tahun tersebut. Saat ini, kata Akil, CV Ratu Samagat sudah tidak lagi berdiri.

Akil mengakui, tak pernah mengetahui pembukuan dari CV tersebut. Bahkan, ia menyatakan tak pernah paham akan masalah keuangan dari perusahaan ini. "Kecuali kalau ada belanja barang dari Jakarta, baru saya," ujarnya.

"Lalu apa alasan terdakwa tidak cantumkan ini ke LHKPN (laporan harta kekayaan penyelenggara negara)," tanya Majelis Hakim.

"Iya karena itu kan dikelola oleh orang lain, saya hanya terima beres keuntungan. Tapi ya tetap sah itu," ujarnya.

Dalam sidang sebelumnya, Senin (2/6), Akil diminta hakim membuktikan dengan penjelasan mengenai dua usaha yang dicurigai sebagai wadah TPPU. Itu berkaitan dengan sejumlah aktivitas rekening CV Ratu Samagat yang kerap mengirim dan menerima sejumlah uang dari beberapa pihak yang diduga terlibat sengketa pilkada di MK.

Antara lain, kiriman uang dari adik mantan gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Tubagus Chaeri Wardana sebesar Rp 7,5 miliar pada 2011. Diduga kuat, uang tersebut merupakan pemberian terkait pilkada Banten. Dalam setiap kali pengiriman, slip transfer selalu ditulis dengan keterangan yang berkaitan dengan usaha kelapa sawit. Seperti, untuk pengadaan bibit dan pembelian alat berat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement