REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Potensi konflik masyakat di Kabupaten Sleman dinilai tinggi. Kondisi tersebut terjadi karena sebagai tujuan pendatang, masyarakat Sleman sangat heterogen dengan berbagai latar belakang suku, agama, dan ras (SARA).
Dari Catatan Pemerintah Kabupaten Sleman, telah terjadi konflik baik SARA, maupun konflik tenaga kerja sebanyak 6 kasus selama 2013. Sebagian besar kasus tersebut dapat diselesaikan di tingkat bawah dan sisanya menunggu proses persidangan.
Staf Ahli Bupati Bidang Pemerintahan, Retno Wisudawati mengungkapkan musyawarah di tingkat kecamatan seharusnya dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat. Peran Kepala Seksi Kesejahteraan Masyarakat dan Kepala Seksi Ketentraman dan Ketertiban di kecamatan memiliki porsi yang besar.
"Jika konflik dapat diselesaikan di kecamatan maka tidak perlu dibawa hingga ke tingkat kabupaten," ujarnya dalam seminar bersama Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Sleman, Rabu (21/5).
Dengan potensi konflik yang tinggi, penduduk Sleman maupun pendatang diminta untuk menghargai perbedaan. Pendatang dinilai perlu memiliki pandangan yang sama dalam setiap penanganan konflik. Masyarakat pendatang dapat berakulturasi dengan penduduk setempat. "Komunikasi lintas budaya juga menjadi salah satu upaya akulturasi tersebut," ujar Retno.
Dalam penyelesaian konflik, FKUB diharapkan dapat mengupayakan kegiatan budaya bersama. Meski beragam, masyarakat dinilai harus tetap bertindak sesuai dengan regulasi yang ada. "Peran FKUB sangat dibutuhkan yaitu dengan mengupayakan kegiatan-kegiatan budaya bersama," ujarnya.