Rabu 21 May 2014 14:39 WIB

Pemimpin Baru Indonesia Harus Selamatkan Hutan

 Kepulan asap dari hutan yang terbakar di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Kabupaten Bengkalis, Riau, Jumat (28/2).
Foto: Antara/Satgas Bencana Asap Riau
Kepulan asap dari hutan yang terbakar di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil Kabupaten Bengkalis, Riau, Jumat (28/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global yang merupakan gabungan berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lingkungan mengatakan tugas utama pemimpin baru Indonesia adalah menyelamatkan hutan.

"Pemimpin baru Indonesia harus memiliki komitmen yang lebih kuat untuk menyelamatkan hutan dan gambut serta menjamin hak dan ruang kelola masyarakat adat dan lokal," ujar perwakilan dari Greenpeace, Teguh Surya, di Jakarta, Rabu.

Untuk mengoptimalkan perbaikan tata kelola hutan dan lahan gambut, Koalisi mendesak pemerintah yang akan datang untuk menutup berbagai celah hukum yang melegalkan konversi hutan alam dan gambut, memperketat pengawasan dan penegakan hukum, serta meninjau ulang berbagai kebijakan pembangunan yang justru mengancam lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.

"Pada 2014 ini, kita menyaksikan kebakaran hebat yang seharusnya bisa diminimalkan dengan adanya kebijakan moratorium," tambah dia.

Hingga Februari 2014 saja, telah terjadi kebakaran lahan gambut hebat di Provinsi Riau, yang mana 38,02 persen di antaranya berada di wilayah peta indikatif penundaan pemberian izin baru (PIPIB) revisi 5.

"Situasi ini membuktikan ketidakseriusan dan minimnya perhatian pemerintah untuk melindungi hutan dan gambut tersisa walaupun aturan perundang-undangan dengan sangat jelas menyatakan bahwa pemerintah dan pemegang izin konsesi wajib melindungi hutan dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan gambut di areal izinnya."

Selain karena kebakaran, hutan Indonesia juga terancam oleh masifnya alih fungsi dan peruntukkan kawasan hutan di berbagai daerah untuk memuluskan mega proyek yang mengancam hak-hak masyarakat adat dan lokal.

"Pasal pengecualian dalam moratorium dimanfaatkan demi kepentingan proyek-proyek perkebunan skala besar," ujar Franky Samperante dari Yayasan Pusaka.

"Dalam kasus MIFEE di Kabupaten Merauke, hutan alam, hutan rawa dan savana tempat hidup orang Marind dicaplok, dirampas, dan dialihfungsikan untuk pembangunan industri pertanian dan perkebunan skala besar dengan luas mencapai 1.553.492 hektare atas nama ketahanan pangan dan energi," jelas dia.

Selain itu, di tahun 2013 pemerintah daerah Papua Barat mengusulkan revisi RTRWP dengan perubahan peruntukkan (pelepasan kawasan hutan) seluas 952.683 hektare dan perubahan fungsi seluas 874.914 hektare, sebuah angka fantastis yang akan memperparah laju kerusakan hutan di Indonesia.

"Tidak hanya Papua Barat, Kepulauan Aru yang tergolong ke dalam kategori pulau kecil juga terancam oleh pengalihan kawasan hutan menjadi non-kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan tebu yang dikecualikan dalam Inpres Moratorium. Meskipun rencana tersebut dinyatakan batal oleh Menteri Kehutanan, ancaman belum hilang karena saat ini ada rencana pembukaan perkebunan sawit oleh PT Nusa Ina," ujar perwakilan Forest Watch Indonesia Abu Meridian.

Sementara itu, di Sulawesi Tengah yang merupakan provinsi percontohan UN-REDD, moratorium justru tidak berjalan. Koalisi memandang bahwa perlu adanya usaha dari pemimpin baru yang terpilih nanti untuk menyelamatkan hutan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement