Sabtu 10 May 2014 13:15 WIB

Indonesia Masuk Status Gawat Perlindungan Anak, Ini Kata KPAI

Rep: c63/ Red: Nidia Zuraya
Kampanye perlindungan anak dari Kekerasan seksual.
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Kampanye perlindungan anak dari Kekerasan seksual.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Meningkatnya kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada anak yang terjadi baru-baru ini, membuat Indonesia memasuki status gawat masalah perlindungan anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah mengumumkan status gawat darurat melalui situs resmi KPAI setelah muncul kasus Iqbal pada bulan Maret lalu.

Kini setelah muncul kembali kasus kekerasan serupa yang menimpa seorang bocah kelas 5 SD Renggo Khadafi (11 Tahun), yang meninggal karena sakit setelah dipukuli oleh kakak kelasnya SY, Indonesia benar-benar masuk dalam status gawat darurat terhadap perlindungan anak. Hal itu yang diamini Ketua KPAI Asrorun Ni’am Sholeh kepada ROL, Sabtu (10/5).

Asrorun menilai saat ini Indonesia harus benar-benar tanggap menangani kasus yang menimpa pada anak baik itu kekerasan maupun pelecehan seksual. Karena menurutnya bila itu dibiarkan tentu akan merusak masa depan anak-anak Indonesia.

Bentuk tanggap darurat tersebut menurut Asrorun harus benar-benar progresif, terukur dan aktif. Artinya langkah yang dilakukan harus mampu mencegah kasus serupa tidak akan terjadi di masa depan. Selain itu menurut Asrorun, bentuk pencegahan seharusnya dilakukan oleh berbagai sektor bukan hanya dari pemerintah semata. “Semua sektor harus berperan aktif dalam melakukan pencegahan terutama semua elemen masyarakat,” ujar Asrorun.

Peran aktif masyarakat yang ia maksud, harus mampu mengedukasi anak-anak terhadap pengetahuan dan informasi, mengingat tayangan dan game yang disuguhkan kepada anak-anak saat ini banyak mengandung kekerasan dan pornografi. Selain itu, Asrorun juga mengatakan pentingnya pemberitaan yang mengedukasi masyarakat untuk senantiasa melakukan perannya sebagai orang tua untuk mengawasi anak-anaknya dengan baik.

Sedangkan dari segi hukum,  Asrorun berharap mekanisme hukum seharusnya mampu menimbulkan efek jera kepada pelaku agar tidak terulang dikemudian hari. Namun, untuk kasus Renggo yang terduga pelakunya adalah SY yang juga masih berusia 12 tahun, Asrorun memberikan pengecualian.

Bukan bermaksud untuk membenarkan tindakan SY, Asrorun mempertanyakan pola pengasuhan yang menyebabkan anak tersebut sampai melakukan perbuatan demikian. Karena jika mengacu pada undang-undang, hukum tidak bisa mempidanakan anak yang masih di bawah umur. “Secara hukum tidak bisa, tetapi ada jalan keluar, misalnya dididik kembali dibawah pengawasan mungkin itu pilihan terbaik,” ucap Asrorun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement