Jumat 09 May 2014 05:41 WIB

Ical Jadi Cawapres karena Gengsi

Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kanan) bersama Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (kedua kiri) didampingi jajaran petinggi kedua partai memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan tertutup di kediaman Aburizal, Men
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (kedua kanan) bersama Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (kedua kiri) didampingi jajaran petinggi kedua partai memberikan keterangan pers usai melakukan pertemuan tertutup di kediaman Aburizal, Men

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Analis politik Universitas Diponegoro Semarang Susilo Utomo menilai kesediaan Aburizal Bakrie (Ical) menjadi cawapres merupakan cara untuk menyiasati faksionalisasi di tubuh Golkar.

"Faksionalisasi di Golkar kan besar. Ada beberapa kelompok dengan figur-figur yang kuat. Seperti Akbar Tandjung, Jusuf Kalla, dan Ical sendiri," katanya di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (8/5).

Menurut dia, Ical sebenarnya melihat peluangnya menjadi capres akan sulit. Karena tidak akan banyak parpol yang melirik sehingga jika tetap kukuh dengan pencapresannya justru akan menyulitkan posisinya.

Apalagi, kata dia, sekarang ini beberapa parpol sudah menyiapkan bakal capres. Meski pun masih kesulitan mencari bakal cawapres. Sehingga peluang itu diambil Ical dengan merapat ke Prabowo Subianto.

"Golkar itu partai politik yang mirip perusahaan terbuka dengan Ical sebagai direkturnya. Ical memang salah satu pemegang saham terbesarnya, tetapi kan tidak bisa memutuskan sendiri," katanya.

Menyadari peluangnya tipis maju sebagai capres, kata dia, Ical memilih untuk menurunkan status dengan bersedia menjadi cawapres. Selain itu juga karena persoalan gengsi.

"Kalau tidak begitu (bersedia jadi bakal cawapres, red), Ical bisa-bisa tidak dapat apa-apa. Capresnya tidak dapat, sementara cawapresnya juga tidak dapat," kata pengajar FISIP Undip tersebut.

Namun, kata dia, dari pengalaman pemilu 2004 dan 2009, sebenarnya Ical juga sudah belajar. Yaitu bahwa akan ada tokoh Golkar yang diajak maju oleh koalisi parpol yang lain.

Misalnya, pada pemilu 2004 ketika Golkar mengusung capres Wiranto berdampingan dengan KH Sholahudin Wahid. Tetapi Jusu Kalla justru diminta menjadi cawapres oleh Susilo Bambang Yudhoyono.

"Setelah itu, JK malah yang terpilih jadi Ketua Umum Golkar. Pada Pemilu 2009, sebagian mendukung JK maju sebagai capres berdampingan dengan Wiranto. Namun, ada kelompok yang merapat ke SBY," katanya.

Namun, paparnya, langkah Ical yang bersedia menjadi bakal cawapres bisa saja tidak mulus. Karena hasil rapat pimpinan nasional (rapimnas) Golkar menetapkan Ical sebagai capres, bukan sebagai cawapres.

"Manuver Ical itu bisa saja dievaluasi. Karena seperti saya bilang, Golkar itu seperti sebuah perusahaan terbuka. Rapimnas kan menetapkan Ical sebagai capres, bukan cawapres," kata Susilo.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement