Kamis 24 Apr 2014 19:25 WIB

FITRA Duga Jokowi Ikut Bermain Anggaran

Rep: Wahyu Syahputra/ Red: Karta Raharja Ucu
  Aksi unjuk rasa menuntut pengusutan keterlibatan Jokowi dalam korupsi pengadaan bus TransJakarta di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (1/4).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Aksi unjuk rasa menuntut pengusutan keterlibatan Jokowi dalam korupsi pengadaan bus TransJakarta di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (1/4).

REPUBLIKA.CO.ID, WARUNG BUNCIT - Direktur Investigasi dan Advokasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi berpendapat, seharusnya Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tegas dalam kasus rangkap anggaran. Namun, karena terkesan cuek, ia curiga Jokowi ikut bermain dalam kasus itu.

Ucok mengatakan, seharusnya Jokowi bersikap seperti mendapatkan sebuah gitar dari Metalica. "Dilaporkan kepada KPK, jangan diampuni. Tapi, mengapa Jokowi membiarkan, ini bisa jadi pertanyaan kan. Apakah dia juga bermain?" kata Ucok saat berbincang dengan ROL, Rabu (23/4).

Ia menilai, rangkap dan mark up anggaran di Dinas Pendidikan DKI terjadi karena ketidakpedulian Jokowi dan wakilnya, Basuki Tjahja Purnama (Ahok). Ia pun mengaku tidak terlalu kaget dengan kasus tersebut. "Itu permainan Pemprov DKI," kata dia.

Ucok mengatakan, penggelembungan itu masuk dalam rangkap anggaran agar oknum mendapat keuntungan. Seperti, ada dana untuk membeli anggaran dan dana untuk dinikmati secara pribadi.

Ada dua rangkap anggaran, satu biasa untuk memberi barang dan satu lagi dikantongi. "Ini terjadi karena tidak ada kepedulian dari Jokowi-Ahok," kata Ucok.

Ketidakpedulian itu, kata dia, didasarkan dari hasil proposal ketika dibuat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sebelum dilaporkan ke DPRD DKI, kata dia, seharusnya Jokowi dan Ahok melihat dan mengoreksi terlebih dahulu agar penyelewengan bisa diantisipasi.

Tapi, menurut Ucok, Jokowi hanya sibuk dengan pencalonannya sebagai presiden dan Ahok tenggelam dalam keinginannya untuk terus 'berkoar' demi menarik simpati publik.

Dokumen perencanaan itu, menurut Ucok, seharusnya dipublikasi agar bisa dibaca dan diberi masukan oleh masyarakat. "Kenyataannya, itu hanya dicantumkan di website Pemprov DKI, tapi susah untuk dikopi," ucap Ucok.

Berbicara terpisah, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakkir berpendapat, seharusnya Jokowi memberikan sanksi pada pengguna anggaran di Dinas Pendidikan (Disdik) DKI. Sanksi itu diberikan setelah ditemukan indikasi rangkap anggaran sebesar Rp 700 miliar.

"Jika terjadi duplikasi, jelas manajemen anggaran sangat buruk. Pimpinan yang bertanggung jawab tidak profesional. Sebaiknya perlu dikenakan sanksi," ujar Mudzakkir di Jakarta, kemarin.

Menurut Mudzakkir, sebaiknya penanggung jawab anggaran di bidang yang bersangkutan dikenakan sanki administrasi karena terindikasi sengaja menyalahgunakan uang negara. "Diberhentikan atau dipindahkan ke bagian lain sebagai bentuk sanksi," kata dia.

Ia menilai, kasus duplikasi dan mark up anggaran di Disdik DKI belum sempurna untuk dilaporkan sebagai tindak pidana korupsi. Sebab, anggaran tersebut belum digunakan. Namun, menurut dia, tetap perlu dikenakan sanksi administrasi pada pimpinan pengguna anggaran tersebut.

"Terhadap pimpinan yang ikut memerintahkan anggaran, perlu dikenakan sanksi administrasi. Sebaiknya tidak dijadikan perkara korupsi karena belum sempurna untuk dijadikan perkara korupsi," ujar dia.

Sebelumnya, ditemukan 'anggaran siluman' di Disdik DKI, yakni duplikasi anggaran Rp 700 miliar dan //mark up// sebesar Rp 500 miliar.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement