REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mempertanyakan jumlah kerugian negara sebesar Rp 1,12 triliun versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai akibat dugaan kasus korupsi pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP).
"Kalau sekarang ada yang mengatakan (kerugian Negara) Rp 1,12 triliun itu, saya perlu tahu yang mana itu, supaya 'clear' (jelas, red.)," kata Gamawan usai membuka Seminar Nasional Hari Otonomi Daerah XVIII di Jakarta, Kamis.
Mendagri menjelaskan, pihaknya sudah meminta bantuan KPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memeriksa prosedur pelelangan sebelum dia menandatangani pemenang tender proyek pengadaan e-KTP tersebut.
"Sebelum saya menandatangani, saya minta diaudit dulu oleh BPKP, supaya saya tahu apakah ini sudah betul atau belum. Itu saya lakukan karena saya tidak ikut dalam proses pelelangan," jelas dia.
Rencana proyek pengadaan senilai Rp 6 triliun itu juga pernah dikonsultasikan kepada KPK sebanyak dua kali sebelum akhirnya Mendagri membubuhkan tanda tangan pengadaan tersebut dimulai.
Saat itu, lanjut Gamawan, KPK meminta Kemendagri melakukan pelaksanaan lelang dilakukan secara elektronik dan melibatkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP).
"Kami ikuti kedua saran dari KPK itu, walaupun sebenarnya kami baru akan melakukan lelang elektronik pada tahun berikutnya (2012). Saya percepat jadinya karena permintaan KPK itu," tambah mantan Gubernur Sumatera Barat itu.
Sebelum menandatangani hasil lelang tersebut, Mendagri berinisiatif lagi untuk membawa hasil tersebut ke KPK, Kejaksaan Agung, Kepolisian RI, dan BPKP untuk diaudit kembali.
"Saya tidak mau percaya begitu saja terhadap laporan hasil lelang, kemudian saya surati lagi KPK, Kejagung, Polri dan BPKP untuk diaudit sebelum saya tandatangani. Lalu itu diaudit oleh BPKP, 'clear' katanya, barulah saya tanda tangani," kata Gamawan.
Sebelumnya, Juru Bicara KPK Johan Budi menyebut kerugian Negara yang diakibatkan oleh dugaan kasus korupsi pengadaan e-KTP itu diperkirakan mencapai Rp 1,12 triliun.
"Sementara perhitungan kasar di tingkat penyelidikan adalah Rp 1,12 triliun karena anggaran ini ada dua periode yaitu pertama anggaran 2011 sekitar Rp2 triliun dan pada 2012 ada lebih dari Rp 3 triliun sehingga dua anggaran itu sekitar Rp 6 triliun," kata Johan.