Senin 21 Apr 2014 16:11 WIB

Cerita Kapur Tulis Tokoh Perubahan Republika Abraham Samad

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Djibril Muhammad
Abraham Samad
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Abraham Samad

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 27 November 1966, Abraham Samad tumbuh dalam didikan yang keras dari orang tuanya. Ayahnya seorang tentara, pejuang 1945. "Jadilah pasti saya dibesarkan dalam iklim yang disiplin," ujar Samad, kepada Republika, awal April ini.

Samad adalah salah satu figur yang ditetapkan Tokoh Perubahan 2013. Ada lima tokoh perubahan. Selain Samad, ada pelatin Timnas U-19 Indra Sjafri, aktor laga Iko Uwais, guru olimpiade Matematika Ridwan Hasan, dan penggagas klinik asuransi sampah, dr Gamal Albinsaid. Pada Senin (21/4) malam ini, Samad dan keempat tokoh itu akan menerima penganugerahan sebagai Tokoh Perubahan Republika 2013.

Ayah Samad meninggal saat Ketua KPK itu masih berusia sekitar 8-9 tahun. Sejak saat itu, ibunya yang mengasuh dan membesarkan Samad kecil. Dari sosok ibu ini, Samad mendapat salah satu pelajaran berharga yang sampai saat ini masih diingatnya. Samad mengingatnya sebagai cerita kapur tulis.

Saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar, Samad berulangkali melihat teman sekelasnya mengambil kapur tulis utuh di meja guru. Sang guru pun ada di sana dan membiarkannya.

Hingga akhirnya Samad pun tertarik. Niatnya, ia akan menggunakan kapur itu untuk belajar karena mempunyai papan tulis di rumah. Ia pun membawa pulang lima kapur tulis.

Setibanya di rumah, sang ibu bertanya. "Ini siapa punya? Kamu ambil dari mana?." Samad pun berusaha menjelaskan cerita mengenai anak lain yang mengambil kapur dari sekolah.

Sikap sang ibu ternyata berbeda dari bayangan Samad. "Mulai hari ini, kamu jangan pakai kapur tulis itu sedikit pun. Bungkus kembali," ujar Samad, menirukan ucapan ibunya saat itu.

Samad heran dan sempat mempertanyakan. Sang ibu memberikan penjelasan. "Ibu saya bilang, jangan mengambil barang yang bukan milik kita, walaupun barang itu tidak berharga sama sekali. Karena barang itu bukan milik kita," ingat Samad. Setelah itu, Samad pun mengembalikan lima kapur tulis utuh itu ke sekolah.

Sederhana, tapi bermakna. Itulah yang Samad ingat dari ucapan sang ibu. Ia mengartikan kata-kata sang ibu itu saat ini sebagai penanaman nilai integritas. Ini juga, yang menurut Samad, menumbuhkan karakter dalam dirinya hingga pada satu titik membawa dia menjadi salah satu pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2011-2015.

Persoalan korupsi sudah menjadi perhatian Samad ketika statusnya menjadi mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Makassar. Ia heran dengan kondisi masyarakat Indonesia yang masih miskin. Padahal potensi sumber daya alam melimpah ruah.

"Saya menemukan jawaban bahwa ini pengelolaan tidak benar. Bahwa ada yang menjadi hak masyarakat tidak dikembalikan. Oleh karena itu saya terpanggil," kata dia.

Sejak 1996, Samad mengambil profesi sebagai advokat. Namun di sisi lain, ia juga menjadi pegiat antikorupsi dalam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Makassar, Anti Corruption Comittee (ACC).

Dalam perjalanannya, takdir membawa Samad untuk mencoba bergabung dengan KPK. Tujuannya hanya satu, ia ingin memberikan sumbangsih pada pemberantasan rasuah di Indonesia. Pada 3 Desember 2011, jalan menentukan Samad menjadi Ketua KPK.

Bersama empat pimpinan lainnya, Samad membawa KPK bergerak lebih progresif. Road map dicanangkan selama lima tahun. Kasus-kasus besar mulai terungkap. Antara lain kasus Wisma Atlet, kasus Hambalang, kasus Bank Century, kasus Simulator SIM, dan kasus dugaan korupsi yang menyeret keluarga Gubernur Banten.

Aktor yang dijerat bukan sembarangan. Jenderal polisi, menteri, anggota DPR, kepala daerah, diseret ke ranah hukum. Samad tidak mengklaim itu sebagai hasil kerja pribadi. Baginya, KPK adalah institusi dengan kerja kolektif. "KPK itu pekerjaan tim," ujar dia.

Kejujuran dan keberanian menjadi modal Samad. Hal itu semakin tumbuh saat Samad seolah mendapat 'mandat' dari Tuhan untuk memimpin KPK. Selepas terpilih sebagai Ketua KPK, Samad melakukan shalat malam. Di tengah kekhusyukannya, ia merasa seolah berdialog dengan Sang Maha Kuasa. "Abraham, sekarang saya berikan kepada kamu sebuah pedang yang sangat tajam."

Dalam perbincangan itu, Samad diamanatkan menggunakan pedang itu untuk membasmi para koruptor. Tanpa tedeng aling-aling, tanpa pandang bulu. "Jangan pernah takut-takut. Tebas saja. Tapi sekaligus ada catatan, kau hati-hati jangan sampai pedang ini mengenai sedikit pun orang yang tidak bersalah," ujar Samad.

Samad mencoba memaknai dialog itu. Bagaimana dia pada akhirnya mengaplikasikannya dalam mengemban tugas sebagai pimpinan KPK.

Samad pun diwanti-wanti. Pedang itu jangan hanya sampai menjadi sebuah hiasan dalam rumah. "Jadi jangan jabatan Ketua KPK itu hanya menjadi suatu kebanggaan, tapi tidak melakukan apa-apa," kata dia.

Dari dialog dengan Sang Pencipta itu, Samad mencoba mengemban amanahnya. Dengan arah pemberantasan korupsi yang sudah terpetakan, Samad membawa KPK lebih progersif dalam bertindak.

Bukan hanya soal penindakan, tetapi juga dalam hal pencegahan. KPK bahkan sudah mulai masuk ke ranah pendidikan untuk menanamkan nilai antikorupsi dan integritas semenjak usia dini.

Perjalanan Samad selama menjadi pimpinan KPK tidaklah mudah. Sebagai pimpinan paling muda, ia sempat merasa berjalan seorang diri.

Bahkan sempat diwarnai dengan 'hengkangnya' sejumlah penyidik. Namun, Samad mampu melewati masa-masa berat itu. Ia merasa kekompakkan terus tumbuh. Upaya yang membawa pada pemberantasan korupsi yang lebih progresif, mengungkap kasus korupsi kelas kakap.

"Yang terpenting, menurut saya, pimpinan harus kompak dan memberikan rasa aman, proteksi, kepada penyidik," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement