REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PDI Perjuangan (PDIP) dinilai kurang maksimal menggerakkan mesin politik. Hal ini mengakibatkan pencapresan Jokowi tidak berpengaruh terhadap perolehan suara PDIP. Pengamat Politik CSIS, J Kristiadi menyatakan masih ada resistensi di internal PDIP terhadap pencapresan Jokowi.
"Ini menyebabkan PDIP dengan pencapresan Jokowi belum mampu meyakinkan masyarakat," kata J Kristiadi saat dihubungi di Jakarta, Kamis (10/4).
Lagi pula, Kris menilai deklarasi pencapresan Jokowi jangan dijadikan mantra penyihir simpati masyarakat. Pencapresan Jokowi dinilainya tidak memberikan efek perolehan suara PDIP. "Jadi, Jokowi adalah PDIP, atau sebaliknya, itu belum maksimal," jelas Kris.
Praktisi pemenangan pemilu lembaga survei konsep indonesia (Konsepindo), Budiman, menyatakan dari sudut pandang komunikasi politik, perolehan suara PDIP merupakan akibat tidak koherennya pesan kampanye yang dilakukan partai ini.
Setelah pencapresan, figur Megawati dan Puan Maharani masih mendominasi ruang publik dan media massa. "Termasuk dalam iklan-iklan politik partai ini," jelas Budiman.
Hasil survei yang melambungkan suara partai ini direspon dengan bahasa verbal dan non-verbal petinggi partai dan para kadernya. Hal ini mengingatkan orang pada era kemenangan PDIP di 1999 dan ketika Megawati menjadi presiden.
Ketiga, gelagat koalisi dengan PAN (Hatta Rajasa) dan juga PKB membuat pemilih menjadi ragu-ragu kembali. Malah gara-gara manuver itu, PAN & PKB yang mendapat berkah. "Pemilih partai ini malah menjadi solid kembali," kata Budiman.
Hasil pileg membuktikan dengan adanya pencapresan Jokowi, perolehan suara PDIP naik menjadi di sekitaran 19 persen. Hasil pileg tidak bisa membuktikan sebaliknya. Yang tak boleh dilupakan, survei adalah gambaran intensi pemilih menggunakan hak pilihnya, bukan tindakan untuk memilih itu sendiri.