REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan adanya indikasi kartel dalam program beras miskin (raskin). Dari hasil kajian Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK, ditemukan banyak persoalan terkait program raskin, baik di aspek hulu maupun hilir.
Wakil Ketua KPK Busyo Muqoddas mengatakan, persoalan itu antara lain adanya rancangan program yang tidak komprehensif. Program raskin yang sudah berlangsung sekitar 15 tahun ini juga dinilai tidak sesuai kriteria 6 T, tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat harga, dan tepat administrasi.
"Program tidak efektif," ujar dia, saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (3/4).
Sesuai dengan ketentuan, menurut Busyro, Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTS-PM) seharusnya mendapat jatah raskin 15 kilo gram (kg) per bulan. Dengan harga tebus Rp 1.600 per kg di titik bagi. Namun hasil temuan di lapangan menunjukkan harga yang bervariasi.
"Ada yang membeli melalui pedagang dengan harga yang sudah dianikkan hingga Rp 5.500 sampai Rp 6.500," kata dia.
Hasil kajian juga menunjukkan kebocoran beras raskin kepada pihak yang tidak berhak menerima. Belum lagi adanya beras yang justru tersebar di pasar umum. Di beberapa daerah, seperti di Jawa Tengah dan Jawa Timur, adaa temuan juga raskin ini dilakukan dengan kebijakan 'Bagito' (Bagi roto) sehingga hanya menerima 5-10 kg per bulan. KPK juga menemukan adanya sistem arisan per 3-4 bulan sehingga penerima bergilir mendapat jatah.
Dalam program raskin ini, Busyro mengatakan, KPK juga melihat adanya kelemahan dalam pendataan RTS-PM penerima raskin. Fakta di lapangan pun, menurut dia, menunjukkan kecenderungaan alokasi biaya yang meningkat, meski pemerintah mengklaim terjadi penurunan jumal RTS-PM. Busyro mencotohkan pada pemerintah mengalokasikan Rp 21,43 triliun untuk 15.530.987 RTS-PM pada 2013. Jumlahnya naik dari alokasi pada 2012 dan 2011 sebesar Rp 16,53 triliun untuk 17.488.007 RTS-PM.