Rabu 02 Apr 2014 15:18 WIB

Tukang Cukur Jalanan di Era Modern

Rep: C69-Risa Hedahita Putri/ Red: Julkifli Marbun
Tukang cukur (ilustrasi)
Foto: www.supriadi89.wordpress.com
Tukang cukur (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ia membuka salon tradisionalnya di atas trotoar, depan kantor Telkom Jalan Enim, Tanjung Priok. Bapak tua bertopi itu sejak pukul 08.00 WIB tadi duduk menunggu pelanggan di atas kursi kayu yang diletakkan di atas tripleks penutup saluran air di bawahnya. Di dekatnya banyak sisa-sisa rambut manusia yang bertebaran. Terlihat selembar kaca gantung dan kotak kayu yang juga digantung dengan kawat di pagar di hadapannya.

"Saya sih udah dari tahun 1970 jadi tukang cukur, mbak" ujar Satiman, Rabu (2/4), Seorang kakek asal Semarang yang sudah berumur 75 tahun itu.

Ia sempat juga bekerja di pelabuhan di tahun 1980. Waktu itu ia berperan sebagai kuli pemindah barang dari kapal ke gudang. Namun, adanya pengurangan tenaga kerja membuat ia harus kembali menjadi tukang cukur jalanan.

Di Jakarta ini ia hidup dengan temannya di sebuah kontrakan yang biaya sewanya ia bagi berdua. Istrinya sudah lama berpulang. Kedua anak beserta cucunya hidup di Semarang. Terkadang, sebulan sekali anak-anaknya bergantian menengok ayahnya itu.

Dari kontrakannya di Warakas, ia datang ke Jalan Enim dengan menumpang motor temannya yang tukang ojek. Selanjutnya ia menyusun alat-alat kerjanya. Di hadapannya ada cermin, gunting besi yang sudah berkarat, sikat kayu untuk membersihkan potongan rambut di badan pelanggan, bedak tabur, pisau cukur, dan sabun batangan merah muda yang sudah mulai menciut ukurannya. "Sabunnya buat kalau mau nyukur jenggot biar nggak perih, kalo bedaknya buat kepala kalo mau dibotakin, paling ribet nyukur orang Arab, jenggotnya lebat banget," jelas Satiman sambil tertawa terbahak.

Satiman mengaku pelanggannya kini tidak sebanyak dulu. Dalam sehari ia bisa tidak didatangi satupun pelanggan. Kalaupun ada, sampai pukul 16.30 WIB ia hanya mencukur dua atau tiga pelanggan saja. Baru di Hari minggu ia bisa mendapat lima kepala dalam sehari.

Untuk ongkos cukur, ia tidak pernah menentukan tarif. Terkadang ada yang memberinya Rp 8.000, kadang ada juga yang Rp 15ribu. "Ya kalau sehari buat makan aja kurang, makan sehari kan Rp 20 ribu sampe Rp 25 ribu" ungkapnya masih sambil tertawa terbahak.

Ia sering juga disuruh mengurut kaki orang yang keseleo. Pernah juga ia dipanggil malam-malam karena ada yang kesurupan. Dari jasa itu ia bisa diupahi Rp 40ribu sampai Rp 50ribu. Ketika ditanya mengapa ia tidak beralih pekerjaan, lagi-lagi Satiman hanya tertawa.

Dulu di daerah itu bukan hanya dia yang menjadi tukang cukur. Ia sehari-harinya bisa ditemani sembilan tukang cukur lainnya. Berangsur teman-temannya menyingkir dari pekerjaan itu karena sering dirazia petugas Keamanan dan Ketertiban (Kantib). "Preman dulu juga sering dateng malakin, tapi saya nggak pernah dijahatin atau kena raziah, duduk aja kalo lagi pada dikejar-kejar, nggak tau kaya saya ada aja yang ngelindungin," kata laki-laki ceria itu.

Hari ini belum satupun ia pelanggan yang datang. Padahal dulunya ia bisa mencukur rambut sepuluh orang dalam sehari. Ia bahkan bercerita dulu sering dipanggil oleh Joko Asmo, direktur pelabuhan untuk mencukur rambut di kediamannya. "Kalau sekarang langganan saya aja udah pada meninggal, dari 15 tinggal lima kali ya," ujarnya di tengah tawa.

Sambil mengingat masa lalunya, ia berkata bahwa dulu jauh lebih enak dibanding masa sekarang. Menurutnya dulu tenaga buruh banyak dibutuhkan. Lain dengan saat ini yang lebih banyak memakai tenaga modern. Banyak tenaga buruh yang kemudian di PHK, seperti dirinya.

"Kalau saya sih udah tua mbak, tinggal nunggu waktu dipanggil aja, saya yang penting hidup apa adanya," ujarnya sebelum dipamiti.

Tukang Cukur Jalanan di Era Modern

JAKARTA -- Ia membuka salon tradisionalnya di atas trotoar, depan kantor Telkom Jalan Enim, Tanjung Priok. Bapak tua bertopi itu sejak pukul 08.00 WIB tadi duduk menunggu pelanggan di atas kursi kayu yang diletakkan di atas triplek penutup saluran air di bawahnya. Di dekatnya banyak sisa-sisa rambut manusia yang bertebaran. Terlihat selembar kaca gantung dan kotak kayu yang juga digantung dengan kawat di pagar di hadapnnya.

"Saya sih udah dari tahun 1970 jadi tukang cukur, mbak" ujar Satiman, Rabu (2/4), Seorang kakek asal Semarang yang sudah berumur 75 tahun itu.

Ia sempat juga bekerja di pelabuhan di tahun 1980. Waktu itu ia berperan sebagai kuli pemindah barang dari kapal ke gudang. Namun, adanya pengurangan tanaga kerja membuat ia harus kembali menjadi tukang cukur jalanan.

Di Jakarta ini ia hidup dengan temannya di sebuah kontrakan yang biaya sewanya ia bagi berdua. Istrinya sudah lama berpulang. Kedua anak beserta cucunya hidup di Semarang. Terkadang, sebulan sekali anak-anaknya bergantian menengok ayahnya itu.

Dari kontrakannya di Warakas, ia datang ke Jalan Enim dengan menumpang motor temannya yang tukang ojek. Selanjutnya ia menyusun alat-alat kerjanya. Di hadapannya ada cermin, gunting besi yang sudah berkarat, sikat kayu untuk membersihkan potongan rambut di badan pelanggan, bedak tabur, pisau cukur, dan sabun batangan merah muda yang sudah mulai menciut ukurannya. "Sabunnya buat kalau mau nyukur jenggot biar nggak perih, kalo bedaknya buat kepala kalo mau dibotakin, paling ribet nyukur orang Arab, jenggotnya lebat banget," jelas Satiman sambil tertawa terbahak.

Satiman mengaku pelanggannya kini tidak sebanyak dulu. Dalam sehari ia bisa tidak didatangi satupun pelanggan. Kalaupun ada, sampai pukul 16.30 WIB ia hanya mencukur dua atau tiga pelanggan saja. Baru di Hari minggu ia bisa mendapat lima kepala dalam sehari.

Untuk ongkos cukur, ia tidak pernah menentukan tarif. Terkadang ada yang memberinya Rp 8.000, kadang ada juga yang Rp 15ribu. "Ya kalau sehari buat makan aja kurang, makan sehari kan Rp 20 ribu sampe Rp 25 ribu" ungkapnya masih sambil tertawa terbahak.

Ia sering juga disuruh mengurut kaki orang yang keseleo. Pernah juga ia dipanggil malam-malam karena ada yang kesurupan. Dari jasa itu ia bisa diupahi Rp 40ribu sampai Rp 50ribu. Ketika ditanya mengapa ia tidak beralih pekerjaan, lagi-lagi Satiman hanya tertawa.

Dulu di daerah itu bukan hanya dia yang menjadi tukang cukur. Ia sehari-harinya bisa ditemani sembilan tukang cukur lainnya. Berangsur teman-temannya menyingkir dari pekerjaan itu karena sering dirazia petugas Keamanan dan Ketertiban (Kantib). "Preman dulu juga sering dateng malakin, tapi saya nggak pernah dijahatin atau kena raziah, duduk aja kalo lagi pada dikejar-kejar, nggak tau kaya saya ada aja yang ngelindungin," kata laki-laki ceria itu.

Hari ini belum satupun ia pelanggan yang datang. Padahal dulunya ia bisa mencukur rambut sepuluh orang dalam sehari. Ia bahkan bercerita dulu sering dipanggil oleh Joko Asmo, direktur pelabuhan untuk mencukur rambut di kediamannya. "Kalau sekarang langganan saya aja udah pada meninggal, dari 15 tinggal lima kali ya," ujarnya di tengah tawa.

Sambil mengingat masa lalunya, ia berkata bahwa dulu jauh lebih enak dibanding masa sekarang. Menurutnya dulu tenaga buruh banyak dibutuhkan. Lain dengan saat ini yang lebih banyak memakai tenaga modern. Banyak tenaga buruh yang kemudian di PHK, seperti dirinya.

"Kalau saya sih udah tua mbak, tinggal nunggu waktu dipanggil aja, saya yang penting hidup apa adanya," ujarnya sebelum dipamiti.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement