REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dirjen Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Agung Mulyana mengingatkan pentingnya sandardisasi nama rupa bumi (tuponim). Khususnya untuk kebijakan perkembangan ekonomi regional terkait AFTA. Toponim juga, akan menjadi identitas global sehingga penting untuk membangun citra dan presepsi masyarakat global.
Selain itu, katanya, toponim akan sangat penting dalam penanggulangan bencana alam yang disebabkan peristiwa geologi. Pemerintah, dapat melakukan pemetaan, mitigasi dan peringatan dini di lokasi bencana.
Tantangan besar yang dihadapi saat membakukan nama toponim unsur buatan. Karena, keberadaannya yang timbul tenggelam dan seringkali melanggar peraturan. Agung yang juga Sekretaris Tim nasional Pembakuan Nama Rupabumi menyebutkan menggunakan unsur barat, seperti San Diego Hills tidak sesuai Permendagri No 39/2008.
Menurut Agung, hal tersebut tidak sesuai peraturan menteri itu. Yakni, nama sebuah tempat di Indonesia harus menggunakan huruf latin, penggunaan juga berdasarkan rasa lokal, menghormati adat setempat, pakai bahasa Indonesia atau daerah, terdiri dari maksimal tiga kata, dan tidak menggunakan nama orang masih hidup.
Contohnya, kata dia, pemakamaan San Diego Hills, yang seperti nama tempat di Amerika. Padahal itu bekas pabrik genteng, rawa, dan tidak ada keturunan San Diego di sana. ''Itu tidak sesuai denggan peraturan menteri tersebut. Pengggunaan bahasa Inggris juga melanggar Undang-undang Bahasa," katanya.
Agung menjelaskan, pihaknya saat ini menggelar pertemuan United Nations Group of Experts on Geographical Names (UNGEGN) Asia Selatan dan Timur di Bandung. Pertemuan ini, membahas standarisasi toponim (rupabumi). "Rupabumi yang wajib dinamai, terdiri dari unsur alam maupun buatan," ujarnya kepada wartawan di Bandung, Selasa (1/4).
Unsur alam terdiri dari pulau, teluk, bendungan, sungai, gunung, tanjung, rawa, danau, lembah, selat, semenanjung dan lainnya. Daftar data base kedua unsur ini, harus dilakukan oleh Indonesia dua tahun sekali ke PBB. N Arie