Senin 17 Mar 2014 19:07 WIB

Kebakaran Hutan di Riau Sangat Kronis

kebakaran hutan (ilustrasi)
Foto: Rony Muharrman/Antara
kebakaran hutan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG--Guru Besar Perlindungan Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor Prof Bambang Hero Saharjo mengatakan kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia terutama di provinsi rawan kebakaran seperti Provinsi Riau sudah kronis karena selalu terjadi berulang-ulang kali.

"Kebakaran hutan dan lahan kita itu sudah kronis, sudah bertahun-tahun terjadi dan terjadi lagi," ujar Bambang Hero, saat ditemui di Kampus IPB Dramaga, Senin.

Prof Bambang mengatakan, harusnya peristiwa kabut asap yang terjadi di 2013 lalu menjadi pelajaran bagi semua. Namun, karena sejumlah pihak mengaggap kebakaran hutan dan lahan bukan masalah penting sehingga kebakaran tersebut terjadi lagi, mulai dari Januari hingga Maret ini.

Penanganan kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan di 2014 sempat menemukan jalan buntu karena meluasnya sebaran kabut asap hingga melumpuhkan aktivitas masyarakat, bandara, sekolah dan kantor di Provinsi Riau dan meluas ke provinsi tetangga seperti Medan, Sumbar dan Jambi.

Upaya pemadaman yang dilakukan mengalami kendala karena pesawat pembawa bom air dan garam tidak bisa beroperasi akibat jarak pandang yang sangat pendek akibat ketebalan kabut asap. Bandara Sultan Syarif Kasim II juga tidak melayani penerbangan.

Selain karena lambatnya penanganan dan pencegahan, faktor cuaca juga turut memperluas sebaran api. Karena selama kurun waktu kebakaran hutan dan lahan tidak ada hujan turun, sehingga Satgas Penanggulangan Bencana Kabut Asap tidak bisa berbuat banyak.

"Siapa pelaku dari kebaran hutan dan lahan ini. Pelakunya tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya, masyarakat dan koprorasi (perusahaan)," ujar Prof Bambang yang juga merupakan tim ahli perlindungan hutan untuk Polda Riau ini.

Prof Bambang mengatakan masyarakat yang dimaksud bukanlah masyarakat adat yang biasa melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar, mereka adalah masyarakat "berdasi" yang berdalih sebagai masyarakat adat untuk membuka lahan dengan cara dibakar.

Ia menjelaskan, pada Pasal 17 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001 memang memperbolehkan masyarakat adat untuk membuka lahan dengan cara membakar. Karena membakar merupakan ritual adat dan budaya masyarakat lokal.

Dalam peraturan pemerintah ini juga dibatasi, bahwa luas wilayah yang boleh dibakar oleh masyarakat adat hanya 2 hektar, dan tidak boleh melompat atau meluas ke daerah lain. Apabila melebihi dan melombat ke kawasan lain, maka masyarakat ada yang melakukan pembakaran akan ditindak dan dikenai sanksi pidana.

Faktanya, lanjut Prof Bambang, masyarakat adat yang melakukan pembakar memiliki lahan seluas 5 sampai 100 hektar. Berdasarkan Undag-Undang Nomor 18 Tahun 2004 masyarakat yang memiliki lahan lebih dari 25 hektar disebut perusahaan. "Inilah fakta, masyarakat berdasi yang dimaksudkan yang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar," ujarnya.

Prof Bambang mengatakan, bencana kabut asap yang terjadi tahun ini merupakan akumulasi dari beberapa faktor diantaranya, selain adanya pembiaran karena menganggap kebakaran penting lebih kepada ulah manusia, juga dikarenakan akses di lahan areal perkebunan yang belum memadai sehingga saat membakar lahan sulit dipadamkan karena tidak adanya akses.

Selain itu, cuaca di musim kemarau mempercepat laju terbakarnya hutan dan lahan yang kebakayan terjadi di lahan gambut. "Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia khususnya di Riau tidak terjadi begitu saja. Ada yang membakarnya, karena membakar jauh lebih murah dibanding membuka lahan dengan metode lain," ujar Bambang.

Bencana kabut asap yang melanda Provinsi Riau selama hampir tiga bulan lamanya terus meluas hingga dampaknya dirasakan oleh provinsi tentangga seperti Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Jambi.

Sebanyak 55.000 warga Riau terserang ISPA, seratus orang mengungsi, sekolah diliburkan, hingga selama dua pekan bandar udara tidak bisa melayani penerbangan.

Bencana kabut asap ini membuat Presiden SBY turun mengambil alih penanganan dengan mengerahkan personel TNI untuk melakukan pemadaman. Upaya yang dilakukan membuahkan hasil, ditambah hujan yang mengguyur wilayah tersebut hingga dua hari terakhir kondisi udara di Kota Pekanbaru, Riau mulai cerah.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement