Kamis 13 Mar 2014 13:35 WIB

Ini dia Daftar Temuan Ombudsman Penyebab Dwelling Time di Empat Pelabuhan

Pelabuhan Peti Kemas
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Pelabuhan Peti Kemas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil investigasi Lembaga negara pengawas pelayanan publik, Ombudsman Republik Indonesia mengungkapkan daftar penyebab terjadinya dwelling time di empat pelabuhan di Inonesia. Empat pelabuhan itu adalah Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Perak (Surabaya), Belawan (Medan) dan Soekarno Hatta (Makassar).

Berikut rilis yang diterima ROL, Kamis (13/3) mengenai daftar penyebab terjadinya dwelling time (waktu bongkar muat) yakni,

1. Proses Pre Clearance masih lama. Proses perizinan belum semuanya instansi terkait terintegrasi dalam satu sistem dari berbagai institusi penerbit izin belum optimal. Akibatnya clearance impor dan proses karantina tidak dapat berjalan harus menunggu perijinan lain (menunggu kelengkapan dokumen).

Pihak Pelayaran belum melayani secara maksimal dalam proses dokumen bil Of landing (BL), delivery order (DO) dan BC 1.1 karena terkendala hari libur. 

2. Lamanya pengurusan perizinan larangan dan pembatasan (lartas) dari instansi terkait.    Keluarnya Laporan Survei (LS) dari pihak sucofindo yang ditunjuk oleh Mendag. 

Pengurusan perizinan lartas yang terkadang tumpang tindih dengan beberapa kementerian dan lemahnya koordinasi antar kementerian.

Lamanya proses pengurusan di Badan POM.

Lamanya proses penerbitan Nomor Induk Kepabeanan (NIK)

3. Belum semua pihak (Importir/Eksportir, Pelayaran, Bank, dan pihak lainnya) menerapkan Pelayanan 24/7 serta pelayanan belum optimal. Peningkatan jumlah biaya terutama untuk biaya overhead. Belum semua bank memberikan pelayanan 24/7 di Pelabuhan Tanjung. Priok.  Importir tidak melakukan penarikan /pengambilan kontainer di hari Ahad.

4.Penentuan jadwal pemeriksaan kontainer dan petugas pemeriksa secara sistem serta informasi tempat pemeriksaan fisik di dalam TPFT sendiri (Long room/ di lapangan). Berakibat menambah lamanya waktu Pemeriksaan Fisik Kontainer Jalur Merah. Hal ini disebabkan karena belum terdapat ketentuan yang mengatur  dan sistem yang belum tersedia.

 

5. Data Cargo Manifest yang diterima Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tidak diinformasikan kepada instansi-instansi lain yang berkepentingan. Sistem yang belum support baik secara Teknologi Informasi maupun kebijakan yang mengakibatkan pelaksanaan tugas instansi lain seperti Badan Karantina dan Badan POM tidak bisa berjalan dengan baik, kesulitan mendapatkan Cargo Manifest secara utuh. 

6. Jumlah importir jalur merah cukup tinggi.Jumlah importir jalur merah sebanyak 25% dari jumlah PIB dinilai cukup tinggi.

7. Tingginya YOR    Terbatasnya area lapangan penumpukan di PT JICT dan TPK Koja (Pelabuhan Tanjung Priok).  Bahwa Cikarang Dry Port (CDP) secara kewenangan pencatatan bea cukai masih dibawah KPP Bea Cukai Bekasi sedangkan secara operasional dibawah Otoritas Pelabuhan Tanjung Priok dan Balai Besar Karantina Tanjung Priok.

Sebelum bulan Desember 2013 terdapat dua regulasi yang mengatur ketentuan YOR yaitu Peraturan Dirjen Bea dan Cukai yang menetapkan YOR 85% baru dapat di PLP dan Peraturan Dirjen Perhubungan Laut yang menetapkan YOR 65%. Aturan ini kemudian diubah menggunakan Perdirjen Hubungan Laut. (bersambung).....

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement