Sabtu 01 Mar 2014 15:23 WIB

DPR Tolak Tunda RUU Halal

Rep: Bambang Noroyono / Red: Mansyur Faqih
Sertifikasi Halal.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Sertifikasi Halal. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana mengundangkan regulasi formal tentang jaminan produk halal (JPH) tetap sesuai jadwal. Ketua Panja RUU JPH di Komisi VIII DPR, Ledia Hanifa Amaliah menegaskan, naskah payung hukum itu harus tuntas dalam periode sekarang.

"Kita tetap, agar RUU itu diundangkan secepatnya, maksimal 30 September," kata dia, ketika dihubungi, Sabtu (1/3). 

Pemerintah bersama DPR merumuskan RUU JPH sejak 22 Januari 2013. RUU itu untuk memberi perlindungan kepada masyarakat atas produk asupan. Termasuk produk kosmetik dan obat-obatan. RUU JPH juga dimaksudkan sebagai kelanjutan dari UU Perlindungan Konsumen. 

Menurutnya, perlu bagi negara mengatur agar semua jenis produk asupan memberi jaminan halal. Hal tersebut, bisa dilakukan dengan memberi keterangan atas bahan utama dan kandungan dari setiap produk asupan yang dipasarkan.

Namun, RUU JPH terancam untuk tidak dilanjutkan. Jumat (28/2), Menkes Nafsiah Mboi meminta panja untuk menghentikan sementara pembahasan RUU JPH. 

Penundaan pembahasan itu, tentunya akan memperlama rencana keluarnya regulasi positif JPH. Nafsiah beralasan, kemenkes belum siap dan tidak punya infrastruktur untuk mengawasi serta menentukan, setiap produk yang diatur dalam RUU JPH. Terutama untuk jenis obat-obatan.

Ia pun meminta agar klausul halal dan haram dalam produk obat-obatan dikeluarkan dari RUU JPH. Dengan begitu, akan lebih mudah membandingkan produk obat-obatan menyehatkan atau tidak menyehatkan ketimbang halal atau haram.

Ledia melanjutkan, pernyataan Nafsiah tidak pantas diumbar ke publik. Seba selama ini pemerintah tidak pernah mengeluh apalagi meminta untuk menunda pembahasan RUU JPH. 

Ledia meminta, sebaiknya, Nafsiah meminta langsung ke panja untuk penundaan itu. Bukan lewat pernyataan ke media. Ledia juga menilai, keluhan Nafsiah juga tidak masuk akal. 

Sebab, paparnya, yang diminta oleh RUU JPH bukan soal menyediakan infrastruktur penentuan halal haram dalam produk obat-obatan. Namun agar setiap produsen farmasi di Indonesia menerangkan komposisi dan proses pembuatan setiap jenis produknya.

Selama ini, kata dia, yang tampak hanya komposisi dalam istilah kimia. Hal tersebut, dianggap kurang memberi jaminan terhadap masyarakat. Sebab, masyarakat harus tahu bahan apa yang masuk dalam tubuhnya. 

"Jadi RUU JPH ini meminta agar produsen itu jujur saja," sambung Ledia. 

Padahal, paparnya, UU Perlindungan Konsumen, mengatur ketentuan tersebut, bahkan sudah mendapat label harus.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement