REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak melulu hanya soal penindakan. Lembaga antirasuah itu juga mempunyai kewenangan untuk melakukan koordinasi, supervisi, dan juga langkah monitoring.
"Terhadap jalannya pemerintahan dan negara, di pusat mau pun daerah," kata Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas di Jakarta, Jumat (28/2).
Kewenangan itu tertuang dalam UU KPK Nomor 30/2002 pasal 6,7,8, dan 14. Dikatakan, kewenangan itu sudah diimplementasikan sejak KPK periode pertama dan kini mendapat penekanan. Sejak 2012, KPK bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk menjalankan koordinasi-supervisi (korsup) sebagai upaya pencegahan.
Dari hasil korsup pada 2013, Busyro mengatakan, terdapat sejumlah masalah yang perlu memeroleh perhatian bersama. Ada temuan kritis pada empat sektor. "Sektor ketahanan pangan, pertambangan, APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), dan layanan publik," ujar dia.
Busyro mengatakan, hasil temuan itu sejalan dengan road map KPK yang memfokuskan pada tiga sektor utama. Yaitu ketahanan energi, ketahanan pangan plus pendidikan dan kesehatan, serta pendapatan. Hasil temuan juga menunjukkan tata kelola pemerintahan pusat yang belum berparadigma ideologis. "Belum sepenuhnya," kata dia.
Menurut Busyro, pembangunan dengan paradigma ideologis adalah yang mengacu UUD 1945, terutama bagian pembukaan. Selain itu, juga berdasar pada pasal 33 dan pasal 28 A hingga J dalam konstitusi. "Pasal-pasal itu belum terimplimentasi sepenuhnya di KL-KL (kementerian/lembaga) pusat mau pun daerah," kata dia.
Busyro mengatakan, masih banyak kebijakan pemerintah pusat mau pun daerah yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Hasil temuan juga menunjukkan masih adanya kebijakan yang belum sepenuhnya transparan. "Ini rawan fraud, rawan koruptif, dan rawan korupsi," ujar dia.
Karenanya, KPK bersama BPKP melakukan upaya pencegahan. Program korsup ini juga turut melibatkan berbagai elemen masyarakat. Busyro mengatakan, program ini akan terus dijalankan.