Rabu 19 Feb 2014 19:05 WIB

Soal RUU KUHAP, KPK Tunggu Niat Baik Pemerintah dan DPR

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Bilal Ramadhan
 Ketua KPK Abraham Samad menunjukan data hasil audit tahap II Hambalang di gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/9).   (Republika/ Wihdan)
Ketua KPK Abraham Samad menunjukan data hasil audit tahap II Hambalang di gedung KPK, Jakarta, Rabu (4/9). (Republika/ Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan surat ke presiden dan DPR RI untuk meminta penundaan pembahasan RUU KUHAP dan RUU KUHP. KPK melihat ada beberapa poin krusial yang dapat mengganggu pemberantasan korupsi dan tindak pidana khusus lainnya dalam isi draft RUU tersebut.

"Posisi KPK dalam hal ini tidak sedang dalam posisi menolak serta merta RUU KUHAP dan RUU KUHP. Tapi posisi KPK pertama ingin memohon kepada pemerintan dan DPR untuk sebisa mungkin menunda atau menangguhkan pembahasan kedua Rancangan Undang-Undangan tersebut," kata Ketua KPK Abraham Samad, dalam jumpa pers di kantornya, Rabu (19/2).

Samad mengatakan, KPK sudah melayangkan surat ke Presiden dan DPR, Rabu ini. Ada beberapa rekomendasi yang disampaikan KPK selain meminta penundaan pembahasan. Menurut Samad, KPK juga meminta agar delik korupsi dan delik luar biasa lainnya tetap diatur dengan Undang-Undang (UU) tersendiri sebagaimana yang berlaku saat ini. "Supaya lex specialisnya kelihatan," ujar dia.

Menurut Samad, KPK juga merekomendasikan RUU KUHAP sebagai hukum pidana formil dibahas setelah dilakukan pembahasan RUU KUHP sebagai hukum pidana materilnya. Selain itu, KPK juga menyarankan agar pemberlakukan kedua RUU tersebut dilakukan dengan masa transisi tiga tahun. "Untuk menyesuaikan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang lainnya yang terkait," kata dia.

Samad mengatakan, KPK meminta penundaan karena ada beberapa poin krusial yang dapat menganggu pemberantasan korupsi dalam isi draft RUU. Ia mencontohkan dalam sifat tindak pidana luar biasa dari kejahatan korupsi akan terhapuskan karena dimasukkan dalam buku dua RUU KUHP. Sehingga menjadi tindak pidana umum. "Begitu juga kejahatan luar biasa lainnya, seperti terorisme, narkotika, dan Hak Asasi Manusia (HAM)," kata dia.

Sebagai konsekuensi hilangnya sifat kejahatan luar bias itu, Samad mengatakan, lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang itu menjadi tidak relevan. Selain KPK, ia mencontohkan, Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dan juga Badan Narkotika Nasional (BNN). "Atau bisa dikatakan lembaga-lembaga ini menjadi bubar," ujar dia.

Poin krusial lainnya, menurut Samad, mengenai penghilangan kewenangan penyelidikan. Menurut dia, fungsi penyelidikan itu yang selama ini sangat berguna. Sehingga penyidik KPK bisa melakukan upaya, antara lain penyadapan dan juga penyitaan. "Kalau kewenangan penyelidikan itu dihilangkan maka akan sulit melakukan langkah atau upaya hukum yang bisa mempercepat upaya pemberantasan korupsi," tegasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement