Senin 17 Feb 2014 07:20 WIB

Laut (Masih) Belum Dijadikan Orientasi untuk Membangun Negeri

kapal laut (ilustrasi).
Foto: IST
kapal laut (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan tidak sepenuhnya disadari. Saat ini, masih banyak masyrakat dan pihak lainnya belum menjadikan laut sebagai orientasi untuk membangun negeri dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bersama.

"Wilayah laut(an) masih dilihat sebagai 'beranda belakang' sehingga tidak dipandang sebagai potensi yang dapat dimanfaatkan untuk masa depan," ujar Prof. Dr. Susanto Zuhdi dalam diskusi "Sistem Kemasyarakatan Dalam Kebudayaan Maritim di Kepulauan Nusantara" bersama Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, akhir pekan kemarin, di Jakarta.

Zuhdi memaparkan, ada sejumlah bukti yang menyebutkan orang Indonesia belum menjadikan laut sebagai orientasi untuk membangun negeri. Salah satunya terlihat dari masih banyaknya orang yang menyebut Kepualauan Pulau Seribu sebagai daerah belakang dari DKI Jakarta.

"Bahkan ada seorang repoter televisi yang mengatakan 'kita baru saja meninggalkan daerah belakang dari DKI Jakarta menuju Ibukota'," ujar Guru Besar pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini.

Ini memang soal cara pandang. Namun pernyataan itu jelas menunjukkan sebagian masyarakat sudah mengabaikan laut. Jadi tidak mengherankan jika akhirnya daratan satu-satunya yang dianggap paling penting atau utama.

Contoh lainnya saat menyebut pulau terdepan dengan pulau terluar. Setidaknya ada 92 pulau yang melingkari zamrut khatulistiwa. Penyebutan 'pulau terluar' memang sesuai dengan istilah yang terdapat dalam United Nations Convention of Law on the Sea (UNCLOS).

"Namun apa yang dimaksud dengan pulau terdepan lebih merupakan cara kita menginterpretasikan dan pemberian makna agar kita penuh kesadaran untuk menjaganya. Ada kekhawatiran jika yang disebut 'terluar' itu adalah wilayah yang bukan menjadi bagian dari kita (NKRI), itu saja," kata dia.

Begitu juga saat mengetahui bawa Indonesia yang terbentang dari Sabang hingga Merauke baru tersambung dengan transportasi laut pada akhir bulan November 2013. Tepatnya melalui lintas selatan Nusantara yang akhirnya terhubung oleh jalan raya dan penyeberangan laut, setelah kapal perintis beroperasi di satu ruas terakhir penyeberangan laut yakni Dobo, Maluku ke Pomako Kabupaten Mimika, Papua.

"Akankah kita bertambah kaget ketika ternyata transportasi laut pada jalur lintas Nusantara bagian tengah dan utara belum terwujud," kata dia.

Padahal jika merujuk pada sejarah, transportasi laut merupakan yang terbesar dan terkuat. Pemerintah kolonial Belanda bahkan sadar betul bahwa transportasi yang seharusnya besar dan kuat di negeri kepulauan ini tentu saja adalah luasnya jaringan pelayaran.

"Jadi tidak heran jika kapal-kapal Koninkelijke Paketvaart Maatschappij (KPM) memiliki jaringan pelayaran yang luas dengan kapal-kapal dari segala jenis dan ukuran sehingga dapat menjangkau pelabuhan besar dan kecil. Tidak kurang sebanyak 350 pelabuhan kecil yang dilayani KPM hingga jelang kedatangan Jepang," papar zuhdi merujuk studi yang dilakukan a'Campo.

Lebih jauh, bisa mengambil contoh atas yang dilakukan masyarakat Buton. Mereka adalah etnik yang ulung dan ulet. Satu karakteristik menonjol dari kebaharian Buton adalah keberanian (dalam sunyi) mereka memasuki terra incognita di pesisir kepuluan nusantara. Merekalah yang mau memasuki wilayah terpencil nyaris tanpa penghuni. Bahkan di pulau-pulau tertentu, justru karena masuknya orang Buton kemudian menjadi wilayah komunitas yang tumbuh dan berkembang.

"Pelaut Buton bisa disebut berperan besar dalam menghubungkan wilayah-wilayah pesisir terpencil dan menjadikan jaringan pelayaran. Mereka dapat disebut perajut nusantara, khususnya di bagian timur," kata dia.

Tidak pelak, masyarakat Buton, masyarakat yang multietnik dan bahasa,  menempati posisi secara ekonomi jauh lebih baik dari orang setempat. Namun keberadaan mereka memang dipandang sebelah mata lantaran kerjaan Buton disebut pengkhianat lantaran bersekutu dengan VOC/Belanda. Padahal pilihan Buton bersekutu dengan Kompeni adalah untuk keluar dari dominasi kerajaan besar yang mengapitnya, yakni Gowa dan Ternate.

"Nah sekatang bagaimana masyarakat nusantara membentuk kebudayaan maritimnya, maka kita perlu mengungkap peran ke suku-suku bangsa atau masyarakat yang sejatinya masih setia mengarungi kehidupan dalam arti yang sesungguhnya erat dengan laut, seperti dilakukan orang Buton," demikian Zuhri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement