REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gunung Kelud di Jawa Timur meletus pada Kamis (13/2) pukul 22.50 WIB. Hingga saat ini, letusan gunung api tipe A ini masih terus terjadi dan ditandai hujan abu maupun hujan kerikil.
Selain pada tahun 'kuda kayu' ini, sejarah mencatat letusan Kelud juga terjadi pada abad 13-15 M. Berdasarkan makalah yang ditulis oleh Akhmad Zaennudin dan Darwin Siregar (IAGI 2008), letusan yang terjadi pada saat itu merupakan letusan-letusan eksplosif yang cukup besar mengendapkan material freatik, aliran piroklastik dan jatuhan piroklastik yang cukup tebal.
Dampak dari letusan tersebut, menurut kedua penulis, berpengaruh sangat hebat terhadap lingkungan di sekitarnya.
"Tanah yang makmur berubah seketika menjadi kering dan tandus. Begitu juga sarana dan prasaran yang ada pada saat itu telah porak poranda, hancur dan tertimbun oleh letusan gunung," tulis kedua penulis seperti dikutip dari laman resmi Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jumat (14/2).
Lahar sebagai bahaya sekunder pascaletusan telah merusak dan mengubur bangunan dan fasilitas vital lainnya. Pusat Kerajaan Majapahit yang ada di sekitar gunung juga terkena dampaknya secara langsung.
Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani, tidak dapat mempergunakan lahannya lagi untuk bercocok tanam karena kekeringan yang melanda.
Sebagai gambaran, pusat kerajaan maritim dan agraris terbesar di Jawa TImur tersebut berada di Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur dan hanya berjarak sekitar 40 km sebelah utara Gunung Kelud.