REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) dianjurkan mengubah aturan putusan terkait dugaan kasus persoalan korupsi. Dengan begitu, tidak ada lagi pandangan putusan MK final dan mengikat.
Kepala Biro Hukum Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh mengatakan, dalam sengketa pemilukada, MK kerap kali menyidangkan kasus yang bersinggungan dengan persoalan hukum pidana. Bahkan, hakim yang dianggap negarawan nyatanya bisa juga melakukan korupsi.
“Ke depan harus ada pengkhususan untuk sejumlah persoalan terkait gratifikasi, dugaan suap dan pemerasan, harus diberikan format banding,” kata Zudan pada Republika saat dikonfirmasi, Selasa (4/2).
Pernyataan itu dianggap sebagai solusi ke depan atas masalah putusan hukum MK pada perkara Pemilukada Jatim. Sebab, mantan ketua MK, Akil Mochtar yang memimpin sidang panel perkara tersebut, ditangkap KPK sehingga tidak bisa ikut serta dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Sebelumnya Akil menyatakan, dalam sidang panel, pihaknya telah memenangkan pasangan Khofifah-Herman. Namun setelah pihaknya ditangkap KPK, putusan MK berikutnya justru memenangkan Soekarwo-Saifullah Yusuf.
Kejanggalan tersebut disambut baik oleh Khofifah, kuasa hukumnya, Romulo Silaen siang tadi, Senin (3/2) mendatangi kantor Kemendagri. Dia hendak bertemu menteri Gamawan Fauzi untuk menunda pelantikan gubernur terpilih Jatim tersebut. “Putusan MK itu cacat hukum,” ujarnya.