Rabu 22 Jan 2014 21:17 WIB

Atasi Banjir: Berantas Korupsi dari Hulu Sampai Hilir.

Parni Hadi
Foto: Agung Sasongko/ROL
Parni Hadi

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Parni Hadi

Dari Tanah Karo sampai Manado, bencana mendera  Indonesia. Mulai dengan letusan Gunung Sinabung, di Tanah Karo, Sumatera Utara, erupsi  Gunung Marapi di Sumatera Barat,  banjir yang melanda Jakarta dan sepanjang pantai  utara Jawa, letusan Gunung Raung di Jawa Timur sampai  banjir bandang di Manado, Sulawesi Utara. Sambung-menyambung!

Penyebab banjir  tak bisa dipisahkan dari praktik korupsi dari hulu sampai hilir. Penyebab gunung meletus dan gempa bumi memang  peristiwa alam, bukan korupsi.  Tapi, cara penanganan, upaya pencegahan jatuhnya korban  dan pemberian bantuan  kepada korban bencana selama ini tidak bebas dari  praktek korupsi.

Korupsi  menurut definisi yang lebih luas bukan hanya soal suap menyuap atau “menilep” uang negara. Jauh lebih luas dari itu. Diskursus  spiritual, theologi, intelektual dan moral tentang korupsi merumuskan bahwa korupsi adalah tindakan yang menyimpang dari  kesucian atau penyimpangan dari sesuatu yang ideal.

Jadi, korupsi meliputi penyalahgunaan wewenang dari pejabat legislatif, eksekutif dan yudikatif untuk kepentingan pribadi, kelompok, dan atau  partai politik masing-masing sampai dengan  perusakan lingkungan, termasuk pembabatan hutan liar (illegal logging),  konversi  lahan hutan menjadi ladang pertanian, perkebunan, permukiman, dan fasilitas wisata di daerah  hulu sungai.

 

Pelaku korupsi tidak mengenal  SARA (suku, antar golongan, ras dan agama),  gender, profesi, lokasi  dan  usia. Semua agama melarang pemeluknya melakukan korupsi, tapi terbukti koruptor adalah orang-orang yang rajin beribadah di masjid, gereja dan pura. Korupsi telah sukses melakukan regnerasi  dan suksesi, karena  usia pelakunya semakin muda saja.  Korupsi berlangsung mulai dari hulu (posisi puncak), tengah  sampai hilir, di pusat dan daerah.

Sumber bencana  

Air hujan merupakan rahmat Allah dan sungai  sebagai penyalur rahmat itu. Sesungguhnyalah,  sungai  adalah sumber  kehidupan (air dan protein),  urat nadi perhubungan/ekonomi, pembentuk peradaban dan pemberi harapan. Tapi akibat korupsi, air hujan dan sungai berubah menjadi sumber bencana.

Bencana berbasis sungai bermula dari daerah hulu sungai yang rusak sebagai  dampak  dari kebijakan pemerintah (pusat dan daerah)  dan  pelaksanaannya yang tidak pro daerah hulu sungai.  Ini diperparah lagi oleh kerakusan, korupsi dan kemiskinan.

Tata ruang dan wilayah daerah pegunungan atau hulu sungai, amburadul. Wilayah hutan tutupan/konservasi  beralih fungsi menjadi lahan pertanian/perkebunan, pemukiman orang kaya dan orang miskin dengan alasan masing-masing serta kompleks industri pariwisata: hotel, motel, dan vila dengan segala fasilitas rekreasinya.  Akibatnya, daerah resapan air berkurang, erosi, longsor dan banjir bandang  di musim pemghujan dan sulit air di musim kemarau. 

Karena tidak punya pilihan lain, orang-orang miskin terpaksa mencari  nafkah dan tinggal di daerah hulu sungai/gunung  dan pinggir sungai. Mereka  kalah  dan tergusur oleh orang-orang yang lebih kuat, yakni  orang kaya, kaum  berpendidikan lebih tinggi dan pemilik industri. Kaum miskin merambah dan menggarap daerah hulu dan pinggir sungai karena lapar. Kelaparan di perut menyebabkan mereka lapar lahan untuk sumber kehidupan dan tempat tinggal. Mereka melakukan itu karena kebutuhan (need).

Petani  miskin  menanami lereng-lereng terjal dan tebing curam dengan sayur mayur, yang akarnya tidak kuat mencengkeram tanah, hingga mudah terjadi erosi,  “run off”, longsor dan banjir  dengan kandungan sedimen yang tinggi yang berakibat pendangkalan sungai. Di daerah tengah dan hilir sungai, orang miskin membangun rumah-rumah kumuh yang berakibat pada penyempitan sungai . Mereka juga  menjadikan sungai  sebagai tempat pembuangan sampah. Lagi-lagi, ini akibat kemiskinan yang berdampak pada kurang pendidikan.

Sementara itu, orang kaya, kaum berpendidikan  dan pemilik industri  merambah dan menggarap hulu sungai , tengah  dan hilir sungai sebagai  tempat tinggal mewah, rekreasi  dan lahan usaha karena kerakusan (greed)  untuk mengejar kepuasan (pleasure).  Vila dan kompleks perumahan  mewah di lembah dan pinggir sungai mereka beri  nama-nama indah seperti “Green Valley”, “Valley View” dan “River View”.  Orang miskin tak mau kalah, mereka sebut pemukinan mereka yang kumuh dipiinggir kali dengan  “girli”, singkatan pinggir kali.  

Harus diakui, orang-orang miskin karena kurang pendidikan mudah dibujuk untuk bekerja sama oleh orang-orang kaya untuk merusak hutan dan daerah aliran sungai.Kebijakan pemerintah yang dikenal dengan empat pro, yakni  “pro growth” (pertumbuhan), “ pro jobs” (menciptakan lapangan kerja) ,” pro poor” (bersahabat dengan  kaum miskin) dan “pro environment” ( menjaga lingkungan)  tidak berjalan sebagaimana mesthinya. Alasannya, yang berlangsung adalah kebijakan pro yang ke lima, yakni:  “proyek”.  Hampir semuanya dan semaunya dijadikan proyek dengan segala praktik korupsinya.

Gerakan selamatkan sungai

Sungai telah melahirkan kerajaaan besar dengan peradaban Nusantara. Contohnya,  Kerajaan Sriwijaya yang berpusat  di tepi  Sungai Musi dan Kerajaan  Majapahit yang berpusat di dekat Sungai  Brantas. Kedua sungai itu telah menjadi saksi (bisu) kejayaan dan sekaligus  keruntuhan Sriwijaya dan Majapahit.

Sungai kini menjadi penampung  limbah kehidupan kaum miskin dan  diperburuk oleh sampah industri  dan  limbah kehidupan modern.

Menyelamatkan sungai berarti  membangun  peradaban baru, yakni mencintai alam dan kaum miskin serta atau dengan jalan memberantas korupsi dari hulu sampai hilir. Ini harus dimulai dengan membuat langkah-langkah besar yang berupa “kebijakan-kebijakan” sebagai  payung dan pedoman  langkah tindak. Tidak hanya itu, yang tak kalah pentingnya adalah melalkkan  “kebajikan-kebajikan”  yang berupa langkah-langkah nyata besar dan kecil  dalam bentuk program pemberdayaan yang produktif, inklusi  dan  terintegrasi sekaligus.

Perlu gerakan  untuk menyelamatakan sungai, mulai dari hulu sampai  hilir dengan melibatkan multi-pihak yang terpanggil, mulai dari pemerintah, politisi, pengusaha, akademisi, media massa, LSM, rakyat kecil dan tentu saja KPK (Korupsi Pemberantasan Korupsi).

Singkat kata, mengatasi  banjir  harus  melibatkan upaya pemberantasan korupsi dari hulu sampai hilir!.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement