Sabtu 28 Dec 2013 01:44 WIB

Penegak Hukum Dinilai Enggan Tindak Lanjuti Putusan LPSK

Rep: Andi Ikhbal/ Red: Dewi Mardiani
  Salah satu korban perbudakan buruh kuali, Bagas (tengah) menjawab pertanyaan wartawan saat melaporkan pengaduan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta,Rabu (15/5).  (Republika/Wihdan Hidayat)
Salah satu korban perbudakan buruh kuali, Bagas (tengah) menjawab pertanyaan wartawan saat melaporkan pengaduan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) di Jakarta,Rabu (15/5). (Republika/Wihdan Hidayat)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai aparat penegak hukum kurang responsif menindaklanjuti ancaman kriminalitas. Masalah struktural dan aturan di internal instansi tersebut menjadi kendala rumitnya penanganan masalah.

Wakil Ketua LPSK, Askari Razak, mengatakan dalam ketentuan pasal 36 Undang-undang (UU) nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban mewajibkan, instansi penegak hukum melaksanakan segala keputusan LPSK. “Namun kami tidak menampik, masih ada aparat yang belum melaksanakan dan menindaklanjuti putusan kami,” kata Askari dalam jumpa persnya di Restoran Cava, Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (27/12).

Untuk itu, pihaknya melakukan pendekatan intensif baik secara formal dan informal guna menyampaikan perspektif dengan instansi tersebut, dan mempermudah akses birokrasi, pihaknya melangsungkan penandatangan kerja sama dengan 24 instansi terkait.

Ketua LPSK, Abdul Haris Semendawai menambahkan, pihaknya mengusulkan perubahan UU tersebut. Sebab, dalam menghadapi suhu politik Indonesia di 2014 mendatang, dibutuhkan jaminan dan ladasan hukum yang kuat terhadap whistle blower dan justice collaborator. “Hal itu dapat memberikan sumbangsih terbesar dalam menciptakan pemilu yang adil terutama informasi adanya politik uang, dan upaya netralitas politik,” ujar Haris.

Sepanjang tahun 2013, LPSK mencatat sebanyak 1.555 permohonan atas ancaman kriminalitas. Ada kenaikan siginifikan dibanding 2012 yang hanya mencapai 640 permohonan. Paling tinggi, 1.118 pemohon mengalami tekanan psikologis, dan untuk kasusnya 1.151 terkait pelanggaran HAM.

Haris mengatakan, saat dugaan kasus korupsi digembor-gemborkan sebagai persoalan hukum yang mendesak, namun data LPSK justru didominasi oleh kasus pelanggaran HAM.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement