REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR -- Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyatakan, pemanfaatan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik merupakan opsi terakhir apabila Indonesia tidak memiliki alternatif lain.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 mengamanatkan dimulainya pemanfaatan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Namun implementasi dari hal tersebut bergantung pada presiden yang terpilih pada 2014.
"Nuklir itu ada dalam rencana jangka panjang dan termasuk di dalam penggunaan energi kita yang baru dan terbarukan. Itu adalah salah satu yang menjadi pertimbangan kita, tapi alternatif pilihan terakhir," ujar Hatta yang ditemui usai Peresmian Tiang Pancang Terminal Pelabuhan Semen Bosowa, di Garongkong, Sulawesi Selatan, Kamis (26/12).
Menurutnya, Indonesia akan menggunakan sumber lain jika masih ada. Sumber yang dimaksud adalah panas bumi, air, angin, bio massa dan energi gelombang. "Kalau itu tidak cukup, baru nuklir," ujar dia. Kendati menjadi pilihan terakhir, tidak menutup kemungkinan bahwa nuklir tidak dibangun di Indonesia.
Hatta mengatakan, ketika ia masih menjabat menjadi Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) pada 2002, ia mendeklarasikan bahwa 15 tahun kemudian atau pada 2017, Indonesia akan memiliki pembangkit listrik tenaga nuklir. Tetapi hal tersebut belum terealisasikan karena masyarakat belum siap.
Menurutnya, dalam membangun energi nuklir terdapat tiga unsur yang harus ditaati. Unsur pertama adalah aspek keekonomian yang saat ini sudah dipenuhi oleh Indonesia. Unsur kedua adalah aspek teknologi yang aman. Unsur terakhir adalah penerimaan masyarakat. "Sepanjang masyarakat belum bisa nerima, kita tidak jalankan," ujar dia.