REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pemilih perempuan rentan dimobilisasi dan dipengaruhi dalam pemilu. Padahal, suara wanita dalam pesta demokrasi sangat menentukan lahirnya seorang pemimpin.
'' Suara perempuan potensial, tapi paling rentan dalam pemilu,'' ujar pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bhakti, kepada wartawan, Sabtu (21/12). Hal itu disampaikan dalam seminar bertemakan Presiden Pilihan Perempuan yang digelar Alumni Fakultas Ilmu Sosial Universitas Indonesia (FIS UI) 1978, di Hotel Aryaduta, Jakarta.
Pasalnya, lanjut Ikrar, kaum perempuan bisa dimobilisasi baik oleh suami dan organisasi yang digelutinya. Terlebih, tingkat pendidikan masih lebih rendah dibanding laki-laki. Dampaknya, independensi perempuan dalam menentukan politik masih kurang.
Ikrar mengungkapkan, kaum wanita dalam menentukan pilihan masih menggunakan perasaan dibanding logikanya. Kondisi tersebut berdampak pada mudah dipengaruhi oleh pencitraan yang baik dari kandidat politik.
Oleh karena itu, kata Ikrar, para perempuan harus mempunyai visi baru dalam menentukan pilihan. Putusan tersebut tidak lagi didasarkan pada fisik tapi bagaimana orang itu jujur, berani mengambil resiko dan tidak mementingkan diri dan keluarganya.
Ditambahkan Ikrar, suara perempuan dalam pemerintahan khususnya legislatif mulai dirasakan kehadirannya. Fenomena ini dilihat dari naiknya jumlah anggota DPR pada setiap penyelenggaraan pemilu.
Pada 1999, jumlah politisi perempuan di Senayan hanya sekitar 8,6 persen. Jumlah ini meningkat pada 2004 menjadi 11,6 persen dan pemilu 2009 sebesar 18,03 persen.
Dosen politik UI Chusnul Mar'iyah yang jadi pembicara di acara itu menambahkan, perempuan dibutuhkan dalam setiap pengambilan keputusan. ''Seluruh kebijakan negara berurusan dengan perempuan seperti hak reproduksi dan relasi perempuan dan laki-laki,'' ujar dia.
Dicontohkan Chusnul, ada sejumlah kebijakan yang dinilai diskriminatif terhadap kaum wanita. Menurut dia saat ini ada sekitar 300 lebih peraturan daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap wanita.. Kebanyakan perda itu terdapat di Provinsi Jawa Barat dan Sumatera Barat.
Dikatakan Chusnul, ada sejumlah kendala bagi wanita untuk terjun ke politik. Misalnya partai dan sistem politik tidak mendukung, biaya politik mahal sementara kaum perempuan masih banyak yang miskin.
Pada pemilu 2014 mendatang, lanjut Chusnul, para pemilih perempuan harus hati-hati dalam memilih pemimpin. Diantaranya mempelajari siapa mereka dan apakah memperjuangkan kepentingan wanita.
Pengamat Budaya, Nina Akbar Tanjung mengatakan, para pemilih perempuan jangan sinis dan pesimis dalam menentukan hak pilihnya di pemilu. '' Kita harus memberi perhatian, meskipun banyak yang sinis dan menjauhi politik,'' terang dia, yang juga alumni FIS UI.
'Pengaruh kaum wanita dalam penyelenggaraan pemilu cukup besar,'' ujar Humas Alumni FIS UI 1978, Asri Hadi. Suara wanita misalnya disinyalir sangat berpengaruh pada terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada pemilihan presiden.
Oleh karena itu, kata dia, pemilih perempuan rawan dimanipulasi dengan pencitraan yang baik. Padalah, belum tentu kandidat itu mempunyai integritas yang baik.
Dari fakta tersebut, lanjut Asri, menunjukkan perlunya edukasi politik bagi para perempuan. Salah satu upayanya FIS UI menggelar seminar bertema Presiden Pilihan Perempuan.