REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD cenderung memilih pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD. Pandangan ini tidak terlepas dari persoalan pilkada secara langsung yang selama ini terjadi.
Mahfud membandingkan persoalan mengenai politik uang dan biaya politik. Saat pemilihan dilakukan melalui DPRD, sempat terkuak banyaknya politik uang terjadi. Calon kepala daerah harus membayar anggota DPRD agar bisa terpilih. "Memang dia dengan uang," kata Mahfud di Jakarta, Kamis (17/12).
Menurutnya, ada juga persoalan lain dalam pemilihan melalui DPRD. Yaitu banyak keluhan dari kepala daerah yang harus menyetor uang kepada anggota DPRD sehingga laporan pertanggungjawaban dapat diterima. Karena kalau sampai ditolak, kepala daerah itu akan diberhentikan. "Ini menjadi isu politik di mana-mana. Penyelenggaraan otonomi salah," kata dia.
Lalu muncul UU Nomor 32/2004 mengenai pilkada secara langsung. Namun, setelah sekian tahun berlangsung, persoalan politik uang dan biaya politik itu masih tetap ada. Bahkan, nilainya semakin besar. "Sekarang gilanya, berat bukan main," ujar dia.
Mahfud mencontohkan, calon kepala daerah harus mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk mahar kepada partai. Belum lagi kandidat harus mengeluarkan biaya kampanye. Ditambah, ada simbol masyarakat yang justru meminta uang. "Terjadi fenomena yang merusak kehidupan masyarakat," kata dia.
Selama pengalamannya sebagai Ketua MK, Mahfud mengatakan, banyak kecurangan terjadi dalam pilkada. Ada yang terbukti melakukan politik uang, meski pun pilkadanya tidak dibatalkan. Karena, tolok ukur MK adalah kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masih, serta signifikan. "Tapi pidananya itu kita minta ditindaklanjuti, diselediki," kata dia.
Selain itu, ada juga kecurangan yang dilakukan calon kepala daerah dengan menggerakan kantor pemerintahan untuk mendukung pemenangan. Biasanya, ini dilakukan calon incumben. Termasuk penggunaan dana APBD sebagai alat pemenangan dengan dibungkus program bansos. "Dimepetkan pengeluarannya jelang pemilihan," ujar dia.
Mahfud juga pernah mendapati laporan adanya kecurangan yang dilakukan kandidat bekerja sama dengan KPU. Selain itu, pilkada langsung juga bisa menyebabkan pembelahan sosial. Contohnya, kelompok pengajian bisa bermusuhan karena mengusung calon berbeda. "Celakanya sesudah terpilih, permusuhan antarkelompok itu masih berlangsung," kata dia.
Menurut Mahfud, masalah tadi merupakan persoalan serius dalam pilkada secara langsung. Karena itu, tidak masalah ketika ada wacana sekarang untuk mengembalikan pilkada melalui DPRD. Karena pilihan itu juga sama-sama konstitusional. "Berdasar pengalaman, saya lebih cenderung kembali saja ke DPRD," ujar dia.
Mahfud tidak menyangkal ada kekhawatiran rawannya politik uang. Namun, pemilihan melalui DPRD akan memudahkan dalam melakukan pengawasan. Sehingga, diperlukan adanya sistem mekanisme pengawasan yang lebih ketat. "Taruh lah 100 (anggota DPRD) itu bisa dilacak. Buat sistem pengawasan," kata dia.
Andai pilkada secara langsung tetap dipertahankan, Mahfud juga tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun dengan syarat, harus ada tindakan tegas terhadap kandidat kepala daerah yang melakukan pelanggaran. Misalnya yang menggunakan dana APBD atau melakukan penyuapan. "Itu langsung didiskualifikasi saja," ujar dia.