REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kementerian Agama (Kemenag) melakukan rapat koordinasi untuk membahas pemberian uang transport kepada penghulu yang dianggap sebagai gratifikasi.
Dua institusi ini akan melakukan perubahan sistem untuk pencegahan dalam penerimaan gratifikasi oleh penghulu.
"KPK memandang bahwa persoalan itu harus dibenahi dari sisi sistem. Karena kajian yang dilakukan oleh Direktorat Gratifikasi itu adalah persoalan-persoalan yang memang berkaitan dengan sistem. Karena persoalannya sistem, maka pendekatannya juga harus sistemik," kata Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas dalam acara jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Rabu (18/12).
Busyro menjelaskan rapat koordinasi ini juga mengikutsertakan Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
Rapat ini untuk menyelesaikan masalah terkait dengan gratifikasi dalam praktik pelaksanaan pernikahan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) di berbagai tempat, terutama yang berawal di Jawa Timur.
Dengan melakukan pendekatan dari segi sistemnya, lanjutnya, tujuannya untuk membangun sistem baru untuk menyelesaikan masalah ini.
Sistem baru ini juga dapat mempermudah tugas penghulu dalam melakukan pekerjaannya dengan baik dan tidak melanggar undang-undang tentang gratifikasi.
"Sehingga tidak ada gejolak lagi, kami sudah rapat dan sudah ada hasilnya," kata Busyro.
Direktur Gratifikasi KPK, Giri Suprapdiono menjelaskan hasil kesepakatan dari rapat koordinasi ini. KPK dan Kemenag memutuskan praktik penerimaan honor, tanda terima kasih dan pengganti uang transportasi terkait pencatatan nikah merupakan gratifikasi dan dilarang sebagaimana pasal 12B UU Nomor 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Setiap penerimaan gratifikasi, tambahnya, harus dilaporkan kepada KPK dan untuk memudahkan akan diatur mekanisme pelaporannya melalui Kemenag. Adanya penerimaan gratifikasi oleh penghulu rupanya karena minimnya anggaran di Kantor Urusan Agama (KUA).
Anggaran yang ada di KUA yang meliputi anggaran operasional hanya sekitar Rp 2 juta per bulan. Untuk mencegah penerimaan gratifikasi, anggaran tersebut akan dinaikkan menjadi Rp 3 juta per bulan.
Biaya ini digunakan untuk biaya rutin di KUA seperti honor penjaga kantor dan petugas kebersihan sekitar Rp 100 ribu per bulan. Selain itu, hanya sebagian kecil KUA di Indonesia yang memiliki kendaraan dinas atau transportasi sejenis untuk penghulu menuju lokasi pernikahan.
"Pada dasarnya tidak ada fasilitas dan sarana atau prasarana bagi penghulu untuk mendatangi calon pengantin sebagai pihak pengundang. Kondisi tersebut membuka peluang dan dijadikan alasan pembenaran terjadinya praktik penerimaan gratifikasi atau pemberian untuk menutupi biaya transport dan operasional. Walaupun atas dasar kerelaan dan tidak ada paksaan dari pihak lain," papar Giri.
Rapat ini juga menyepakati biaya operasional di luar kantor dan di luar jam kerja akan dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan begitu, penghulu tidak diperbolehkan lagi menerima dari pihak yang menikahkan.
KPK dan Kemenag juga meminta agar perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 47/2004 harus diselesaikan pada akhir Januari 2014 mendatang. Sambil menunggu perubahan PP ini, Kemenag akan mengeluarkan surat edaran tentang pelayanan catatan nikah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kementerian Agama yang diwakili Inspektur Jenderal (Irjen) Kemenag, M Jasin menegaskan setiap penerimaan oleh penyelenggara negara atau pegawai negeri akan dianggap suap atau gratifikasi sesuai dengan pasal 12B UU Tipikor. Jika penerimaanya lebih dari Rp 10 juta, maka penerima suap wajib membuktikannya. Jika kurang dari Rp 10 juta, maka yang membuktikan adalah jaksa penuntut.
Jika penghulu menerima uang transport dari pihak penyelenggara pernikahan, maka harus dilaporkan kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari kerja. Hal ini akan disosialisasikan dalam surat edaran Kemenag ke seluruh perwakilan Kemenag di seluruh provinsi dan sleuruh KUA di Indonesia.
"Jadi batas (penerimaan gratifikasi) terkecilnya memang belum ada," ujar mantan pimpinan KPK ini.