Selasa 17 Dec 2013 07:30 WIB

Gemar Bakar Uang, Tak Sudi Jaga Kesehatan

Seorang warga mengikuti terapi menghilangkan ketergantungan merokok di sekitar bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Ahad (2/6).  (Republika/Adhi Wicaksono)
Seorang warga mengikuti terapi menghilangkan ketergantungan merokok di sekitar bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat, Ahad (2/6). (Republika/Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Udara dingin masih terasa. Rintik-rintik sisa hujan yang turun sejak siang masih dapat dirasakan di luar. Embusan angin semakin membuat hawa dingin mampu menusuk kulit. Puluhan pria tampak mengenakan jaket sedang asyik bercengkerama. Belasan kursi yang dilengkapi meja dipenuhi pengunjung.

Semakin malam, pengunjung Cafe Unyil bertambah ramai. Pukul 22.00 WIB, hampir semua kursi sudah terisi. Suasana semakin riuh ketika alunan musik pop berganti menjadi disko. Nada yang cepat semakin meningkatkan adrenalin pengunjung kafe di sekitar Jalan Soekarno-Hatta, Kota Malang.

Kawasan yang dekat dengan beberapa kampus ternama di Malang ini memang menjadi jujugan para mahasiswa dan pekerja yang mencari tempat nongkrong pada malam hari. Meski yang dibincangkan pengunjung cukup beragam, satu aktivitas sama yang dilakukan secara bareng-bareng. Mereka kompak sama-sama merokok. Dari pengamatan, hampir 90 persen pengunjung mengisap rokok.

Asap yang berkumpul di ruko yang disulap menjadi kafe ini mendadak mengepul. Lama-kelamaan asap mampu membuat perih mata. Beberapa pengunjung melepas jaket mereka lantaran gerah.

Bery dan Hadi adalah contoh yang saban malam menghabiskan waktunya untuk nongkrong. Mereka tampak asyik mengisap rokok kretek dan sesekali mencicipi kopi di gelas kecil sebagai teman menyambut pagi.

Bery mengaku, merokok sudah menjadi gaya hidup. Dia merasa aktivitasnya ada yang kurang jika beberapa jam saja tidak mengisap satu batang rokok. Sehari kira-kira habis satu bungkus rokok isi 16 batang yang harganya Rp 15 ribu. “Jumlah itu buat saya sendiri. Jika banyak teman yang minta, bisa habis dua pack sehari,” ujar Bery kepada Republika Online belum lama ini.

Dalam sebulan, wiraswasta berusia 27 tahun tersebut bisa menghabiskan dana sebesar Rp 500 ribu lebih untuk membeli rokok. Anggaran itu mencapai 25 persen dari pendapatannya. Dia rela menghabiskan dana cukup besar untuk rokok untuk memenuhi keinginannya.

Sayangnya, meski termasuk rentan terkena gangguan jantung dan berbagai penyakit berat lainnya, dia tidak mengambil risiko pencegahan. Dia menikmati pola hidup yang tidak sehat dan tak memiliki minat untuk sekadar ikut asuransi kesehatan. Bery tidak pernah terpikir seandainya suatu hari jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit.

 

Darurat jumlah perokok

Jumlah perokok seperti Bery semakin meningkat dari waktu ke waktu. Menurut penelitian, terjadi peningkatan perokok sangat besar dari tahun 1995 sampai 2010. Indonesia yang berpenduduk 250 juta menjadi negara ketiga dengan jumlah perokok terbanyak, setelah Cina dan India. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan penduduk terbesar nomor empat di dunia, di belakang Amerika Serikat (AS).

Berdasarkan Global Adults Tobacco Survey (GATS 2011), Indonesia memiliki jumlah perokok aktif terbanyak dari 16 negara yang diteliti, dengan prevalensi 67 persen laki-laki dan 2,7 persen wanita. Angka itu setara dengan 59,9 juta orang atau 34,8 persen penduduk. Secara persentase, jumlah perokok di Indonesia tertinggi di dunia dari total penduduk.

Yang mengejutkan, survei itu juga menunjukkan masyarakat yang terpapar asap rokok di tempat umum sebesar 85,4 persen, terpapar asap rokok di rumah mencapai 78,4 persen, dan 51,3 persen terpapar asap rokok di tempat kerja. Dari waktu ke waktu, jumlah warga yang terpapar asap rokok bertambah seiring meningkatnya jumlah perokok.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo, mendesak pemerintah untuk bersikap tegas mengatasi persoalan itu. Dia mengetahui, salah satu upaya pemerintah untuk mengendalikan tingkat konsumsi rokok adalah dengan meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (KKPT).

Caranya, diterapkan mekanisme pengendalian harga dan pajak, iklan, sponsorship, serta promosi. Pemerintah memang telah berpartisipasi secara penuh sebagai anggota komite penyusunan draf. Sayangnya, di level ratifikasi, Indonesia tertinggal dari 175 negara yang telah lebih dulu mengatur industri rokok.

Alhasil, meski aturan itu sudah menjadi acuan global, belum bisa diaplikasikan sepenuhnya di Indonesia. Salah satu masalah paling serius adalah longgarnya pembatasan iklan rokok di berbagai media.

Padahal, memasang iklan di jam tertentu, misal melalui televisi sangat efektif bagi industri rokok untuk mempromosikan produknya kepada masyarakat. Sebagai bukti, jika pada 2010, produksinya industri rokok mencapai 260 miliar batang, tahun selanjutnya menjadi 270 miliar batang. “Di luar negeri sudah berlaku secara ketat, sementara di sini aturannya masih longgar,” kritik Sudaryatmo.

Dia melanjutkan, meratifikasi KPPT juga masih memiliki jalan yang panjang untuk diterapkan. Dia merujuk pada pertentangan terhadap masalah kesehatan dan ekonomi yang sampai menghabiskan energi bangsa. Di saat Kemenkes setuju, tetapi Kemenakertrans, Kemenperin, dan Kemendag masih belum menyetujuinya.

Menurut Sudaryatmo, alasan ketiga kementerian itu sangat masuk akal jika dikaitkan dengan pendapatan negara yang terancam. Persoalan tidak ingin membunuh penghidupan petani tembakau dan industri yang mempekerjakan banyak orang harus dipertimbangkan.

Namun, menurut dia, pendapatan cukai negara dan pengeluaran biaya pengobatan sangat tidak sebanding. Masalah bom waktu dengan memburuknya kesehatan masyarakat sebagai dampak merokok juga harus diperhatikan serius. Dia semakin merasa miris lantaran banyak masyarakat yang tampak meremehkan kesehatannya.

Sudaryatmo mengambil perbandingan, di berbagai negara maju malah pemerintah dengan tegas lebih mengutamakan faktor kesehatan. Untuk faktor ekonomi bisa dicarikan solusi lapangan pekerjaan lain. Karena itu, ia menyarankan agar pemerintah menganggap masalah meledaknya jumlah perokok sebagai masa darurat. “Faktor kesehatan lebih diutamakan daripada ekonomi. Ini yang harus ditiru Indonesia,” ujarnya.

Pro kontra ratifikasi

Menteri Kesehatan (Menkes), Nafsiah Mboi, merasa malu ketika berbicara di Konferensi Tingkat Menkes Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) pada Oktober lalu. Hal itu mengacu sikap Indonesia yang belum meratifikasi KKPT.

Dia menjanjikan paling tidak sebelum Kabinet Indonesia Bersatu jilid II habis masanya kerjanya pada Oktober tanggungan pekerjaan rumahnya dapat diselesaikan. "Saya malu saja, negara-negara lain sudah meratifikasi ini, sedangkan Somalia dan Indonesia belum,” keluh Nafsiah.

Kekhawatiran menkes memang sangat wajar. Pasalnya, dampak buruk menurunnya kesehatan perokok harus menjadi pertimbangan. Berdasarkan survei Global Medical Trends Report dari Towers Watson 2012, biaya pengobatan yang dikeluarkan masyarakat semakin bertambah. Rata-rata kenaikan biaya pengobatan di Indonesia mencapai 13,55 persen per tahun.

Hal itu tidak diikuti dengan kenaikan pendapatan yang besar. Secara umum, pendapatan masyarakatnya hanya naik 1,2 persen per tahun. Belum lagi, biaya kenaikan tarif rumah sakit yang bisa berkali lipat dari jumlah kenaikan pendapatan masyarakat, membuat kesejahteraan sulit tercapai.

Menkes menjelaskan, rokok menyebabkan penyakit berbiaya mahal dan membebani penderitanya secara ekonomi atau mengalami burden of diseases. Sesuai penelitian WHO, penyakit yang diakibatkan merokok menjadi penyumbang terbesar burden of diseases di Indonesia.

“Kemenkes sendiri sudah memberikan pertimbangan atas sikap itu. Sungguh tidak seimbang antara penderitaan dan biaya akibat merokok, seperti jantung, stroke, dan cacat bila dibandingkan dengan nikmat sesaat merokok,” kata Nafsiah.

Langkah pemerintah yang tampak ngotot meratifikasi KKPT mendapat sorotan anggota Komisi Kesehatan dan Ketenagakerjaan DPR, Poempida Hidayatulloh. Dia meminta pemerintah memperhatikan aspirasi pelaku industri rokok dan petani tembakau di daerah menolak penerapan aturan itu. “Ya, memang pemerintah semakin tidak punya hati, dan jelas tidak pro terhadap pekerja atau buruh,” ujar politikus Partai Golkar itu.

Dia mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS) terkait penurunan jumlah angkatan kerja sebanyak 3 juta orang dari Februari 2013 ke November 2013. Mengacu data enam bulan terakhir, dia sangat mengkhawatirkan tingkat pengangguran bertambah dengan diterapkannya KKPT. “Industri rokok atau tembakau yang jelas menyerap tenaga kerja saja kok malah mau diganggu?” ujar Poempida.

Dia mempertanyakan keuntungan Indonesia dengan meratifikasi KKPT. Dia menjelaskan, industri rokok tembakau di Indonesia sangat unik. Karena itu, perlu ada cara khusus untuk menanganinya. Dia juga memngimbau pemerintah tidak mengadopsi kebijakan global. Padahal, kebijakan global itu mungkin tidak cocok untuk Indonesia. “Kita jangan terjebak oleh permainan asing.”

Rokok sumbang kemiskinan

Argumen anggota dewan itu yang mempersoalkan penerapan ratifikasi dibantah temuan Jaringan Perempuan Peduli Pengendalian Tembakau (JP3T). Aktivis JP3T, Magdalena Sitorus, ikut prihatin dengan terjadinya penambahan signifikan jumlah perokok. Dia mengatakan, meningkatnya perokok aktif berkorelasi terhadap tingkat kemiskinan.

Pasalnya, masyarakat kategori miskin menempatkan rokok sebagai pengeluaran kedua setelah makanan pokok. Alhasil, pendapatan yang idealnya ditabung sebagai dana darurat atau keperluan penting tidak bisa dilakukan lantaran habis untuk dibakar menjadi asap. “Negara harus memberi perlindungan kepada masyarakat,” katanya saat mengadakan hearing dengan Badan Legislatif DPR pada awal Desember ini.

Data BPS bisa menjadi pegangannya bahwa rokok menjadi salah satu komponen pengeluaran rumah tangga harian paling tinggi setelah beras. Pada Maret 2013, data menunjukkan alokasi pengeluaran rumah tangga dengan batas miskin dipatok pada Rp 271.626 per kapita per bulan, sebesar 8,82 persen (masyarakat perkotaan) dan 7,48 persen (masyarakat pedesaan) pengeluarannya untuk rokok.

Berdasarkan persentase tersebut, pengeluaran untuk rokok sebesar 25,86 persen (masyarakat perkotaan) dan 33,97 persen (masyarakat pedesaan) dari total pengeluaran harian per kapita per bulan. Karena itu, Magdalena mengingatkan tentang pentingnya pengendalian tembakau guna memberikan jaminan kesehatan bagi setiap warga negara. Selain itu, penegakan ratifikasi juga dapat menciptakan udara bersih dan melindungi hak asasi manusia untuk bebas dari kekerasan menghirup asap rokok yang tidak diinginkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement