Rabu 11 Dec 2013 17:21 WIB

SBY: Perubahan Tidak Boleh 'Grasa-Grusu'

Rep: Esthi Maharani/ Red: Mansyur Faqih
Susilo Bambang Yudhoyono
Foto: Antara
Susilo Bambang Yudhoyono

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tak menabukan jika di Indonesia terjadi perubahan. Apalagi sejarah mencatat, Indonesia sudah beberapa kali mengalami perubahan besar.

Namun, ia mengingatkan untuk berubah tetap perlu perhitungan yang matang dan tidak bisa dilakukan sembarangan.

"Yang paling baik, menurut saya, perlu ada perubahan tertentu maka perubahan itu perlu direncanakan dan dipersiapkan," katanya di Kongres Kebangsaan yang digelar Forum Pemred, Rabu (11/12). 

Ia mengatakan, dalam setiap proses perubahan hampir pasti selalu ada hambatan, penolakan, resistensi, guncangan dan risiko. Tetapi, hal tersebut bisa diminimalisasi dengan menghitung segala sesuatunya. 

"Ide perubahan pasti mendapatkan penolakan, hambatan, dan ada pihak yang tidak setuju. Tetapi, jika sepakat untuk melakukan perubahan, tidak boleh dan tidak perlu gentar meski ada elemen yang tidak setuju dan melawan," katanya.

Menurutnya, pemikiran untuk melakukan perubahan tidak ada yang salah dan tidak keliru. Semua harus dilibatkan untuk melihat secara utuh kehidupan bernegara di Indonesia jika pada saatnya dilakukan perbaikan dan penyempurnaan. 

"Perubahan itu tidak boleh grasa-grusu dan demi kepentingan politik tertentu. Tidak boleh perubahan itu untuk memenuhi kehendak pihak tertentu pada periode tertentu. Pastikan apa yang ingin kita lakukan," katanya. 

Ia menguraikan, pada 1965-1966 terjadi krisis dan kemudian diikuti perubahan yang dramatis dan fundamental. Lalu, 30 tahun setelah itu, tepatnya 1998-1999, terjadi kembali perubahan besar-besaran disertai krisis dan goncangan.

"Apa yang dipetik? Kita tidak boleh menghalang-halangi terjadinya hukum alam, bahwa perubahan dan pembaharuan itu harus senantiasa dilakukan," kata SBY.

Ia menegaskan, menganggap sistem dan kerangka bernegara yang dianut pada periode tertentu sebagai sudah baik, sudah tepat dan harus dipertahankan akan mengingkari hukum alam dan hukum sejarah.

Bangsa yang cerdas dan bijak selalu melakukan evaluasi dan refleksi untuk secara sadar melakukan perubahan dan pembaharuan. "Dari pada harus ada revolusi baru atau revolusi sosial atau yang disebut dengan forced change yang sering menyakitkan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement