REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Rais Syuriah PBNU KH Hasyim Muzadi menilai tuduhan gratifikasi terhadap modin/petugas Kantor Urusan Agama (KUA) merupakan pola pemberantasan korupsi yang "over acting" sehingga para modin tidak mau menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja.
"Konon, para modin yang diusut kejaksaan karena meminta sejumlah uang antara Rp100 ribu hingga Rp 200 ribu, karena hal itu di luar ketetapan resmi sebesar Rp30 ribu," katanya dalam keterangan resmi yang diterima Antara di Surabaya, Senin.
Ia menilai Rp 30 ribu itu secara objektif memang sangat tidak cukup untuk biaya operasional , sehingga solusinya adalah Menteri Agama perlu memperbaiki/menyesuaikan tarif tersebut agar para modin tidak dianggap melakukan pungli.
"Yang lebih mengherankan lagi adalah uang/amplop sukarela yang diberikan oleh empunya hajat ke penghulu yang menikahkan itu dianggap gratifikasi, padahal uang tersebut tidak diberikan atas permintaan penghulu," katanya.
Bahkan, para penghulu pun tidak menentukan jumlahnya, apalagi hal itu tidak menyangkut "proyek" apapun dalam usaha penyelewengan. "Seandainya yang punya hajat tidak memberi apapun tidak akan ada protes dari penghulu," katanya.
Menurut mantan Ketua Umum PBNU itu, hal itulah yang dinamakan "bisyaroh" (sedekah), lantas bagaimana bisa dianggap gratifikasi?. "Pemberantasan korupsi hendaknya jangan 'over acting' sehingga yang halal pun diharamkan," katanya.
Ia menilai reaksi para penghulu untuk tidak bersedia datang ke rumah pengantin dan pengantin harus datang ke KUA serta hanya pada jam kantor adalah wajar, karena kalau penghulu datang ke rumah pengantin akan dituduh gratifikasi.
"Bagaimana jadinya masyarakat ,seandainya telah ditetapkan hari/jam nikah dan penghulu tidak datang ? Benarkah para pembesar pemberantas korupsi kalau mantu tidak memberi amplop ke penghulu," katanya.
Sementara itu, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur H Sudjak MAg akan mengikuti keputusan Kantor Urusan Agama (KUA) se-Jatim untuk tidak menikahkan pasangan pengantin di luar jam kerja.
"Itu kewenangan Kepala KUA, apalagi keputusan itu sebetulnya mengacu pada Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Pasal 21 ayat 1 yang berbunyi nikah dilaksanakan di Kantor KUA," katanya.
Namun, tradisi masyarakat yang berkembang selama ini juga diakomodasi dalam peraturan itu pada ayat 2 bahwa pernikahan dapat dilaksanakan di luar kantor atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan pegawai pencatat nikah (Kepala KUA).
"Tapi, hal itu merupakan dilematis, karena menikahkan di luar jam kantor yang sudah menjadi sebuah tradisi itu di mata hukum justru dianggap sebagai sebuah gratifikasi jika menikahkan di luar kantor dan mendapat sangu," katanya.
Oleh karena itu, katanya, keputusan Kepala KUA se-Jatim itu merupakan kewenangan masing-masing kepala KUA agar tidak tersandung kasus gratifikasi seperti yang dialami Kepala KUA Kota Kediri Romli. "Saya kira wajar kalau petugas KUA sekarang berhati-hati," katanya.