REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Peneliti senior Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) R. Siti Zuhro menilai pemilihan umum masih diterjemahkan sebagai 'pesta demokrasi' saja, belum dalam konteks konsolidasi demokrasi atau institusionalisasi demokrasi.
"Oleh karena itu, pemilu hanya menghasilkan pergantian kekuasaan saja. Secara umum, pemilu kita belum masuk ke tahap pemilu untuk memilih pemimpin yang mau mendedikasikan dirinya untuk kemajuan negara," katanya ketika dihubungi dari Semarang, Ahad (8/12).
Sejauh ini, menurut Wiwieq (sapaan akrab Prof. Dr. R. Siti Zuhro, M.A.), praktik pemilu di Tanah Air belum
menyentuh isu krusialnya, yaitu memilih pemimpinan yang amanah, jujur, berintegritas, memiliki kapasitas/ kompentensi, dan kepemimpinan yang jelas.
Alumnus The Flinders University Australia itu berpendapat bahwa pemilu lebih mengontestasikan kepiawaian elite politik dalam merakayasa politik transaksional dan menggunakan politik uang.
"Masalahnya bukan elitenya tidak memahami demokrasi dan maknanya, melainkan 'mindset' mereka tidak nyambung dengan nilai-nilai demokrasi," katanya.
Menurut dosen tetap pada Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Riau itu, perilaku menyimpangkan demokrasi dilakukan untuk memayungi kepentingannya sendiri dan kelompoknya semata.
Wiwieq lantas mencontohkan pemilu sengaja tidak dibuat nyambung dengan makna dan tujuan demokrasi yang intinya pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sehingga pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat bisa diwujudkan.