Ahad 01 Dec 2013 19:49 WIB

RUU JPH tak Juga Berujung

Logo Halal
Logo Halal

REPUBLIKA.CO.ID, Rosita Budi Suryaningsih

Pemerintah mestinya mendukung keberadaan LPPOM MUI.

Pembahasan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) masih menemui kebuntuan. Target selesai Juli yang lalu terlampaui. Bahkan, kemungkinan tak akan tuntas pada akhir 2013. Masih banyak perbedaan yang harus diurai.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU JPH dari DPR Ledia Hanifa mengakui, belum ada kesepakatan pada masalah-masalah pokok.

Pemerintah dan DPR tak juga bersepakat. Di antaranya, mengenai badan kelembagaan, peran Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan sifat sertifikasi halal.

“DPR menginginkan agar nantinya sertfikasi halal bersifat wajib sedangkan pemerintah menginginkan sifatnya sukarela,” kata Ledia, Kamis (28/11).

Dalam RUU JPH Pasal 31, disebutkan pelaku usaha wajib mendaftarkan produk untuk memperoleh sertifikat halal.

Butuh serangkaian pertemuan lagi antardua pihak untuk mengatasi perbedaan ini. Kepala Seksi Penerapan Standar dari Dirjen Standardisasi Perlindungan Konsumen Kementerian Perdagangan Rully Indrayana menegaskan hal itu.

Ia menyatakan, kementeriannya memutuskan memperjuangkan suara yang disampaikan para pengusaha dan produsen.

“Kami lebih setuju sifatnya sukarela,” ujar Rully. Pandangan yang sama disampaikan Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama (Kemenag) Abdul Djamil.

Sertifikasi halal yang bersifat sukarela itu sudah cukup. Namun, ia juga mendorong agar kesadaran produsen soal halal ditingkatkan.

Hal lainnya yang membuat RUU ini terkatung-katung adalah belum disepakatinya bentuk lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal.

“Belum ditemukan kesepakatan nanti badan penyelenggaranya ini siapa,” katanya. Ada yang mengusulkan, bentuknya badan otonom di bawah presiden. Di sisi lain, ada opsi badan tersebut berada di bawah Kemenag atau bahkan independen.

Abdul setuju opsi badan itu berada di bawah wewenang Kemenag. Ia beralasan, persoalan jaminan produk halal menjadi ranah tugas menteri agama.

Badan ini berada ada di Ditjen Bimas Islam, tepatnya Subdit Halal, di bawah Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah.

Ia mengakui, pihaknya memang belum punya pengalaman dalam menjalankan badan sertifikasi halal. Selama ini, institusi yang melakukannya adalah Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI).

Dengan alasan tersebut, Abdul Djamil mengusulkan untuk tetap melibatkan MUI. Paling tidak sebagai auditor pemeriksa seperti layaknya komisi fatwa selama ini. Pasal RUU JPH Pasal 1 Ayat 6 menyebutkan badan ini disebut Badan Nasional Penjamin Produk Halal (BNP2H).

Badan ini juga mengeluarkan sertifikat halal. BNP2H dalam tugasnya melibatkan MUI yang bertugas melakukan standardisasi halal, penyelenggaraan sistem jaminan halal, penetapan fatwa, dan sertifikasi auditor halal.

Abdul Djamil menyatakan, lamanya pembahasan RUU JPH ini harus dipahami sebagai dinamika yang progresif dari pihak pemerintah, DPR, dan pihak lain yang dilibatkan. “Memang lama karena ada beberapa substansi yang perlu dibicarakan serius.”

Wakil Direktur LPPOM MUI Osmena Gunawan menentang keinginan pemerintah. Seharusnya, pemerintah cukup menopang lembaga yang sudah 25 tahun ada. Mereka telah lama menjalankan tugas mengeluarkan sertifikat halal, yaitu LPPOM MUI.

“Kami telah berjalan cukup lama dan pemerintah cukup mendukungnya saja,” ujar Osmena. Ini berarti, pemerintah tak perlu merebut kewenangan LPPOM MUI. Mereka juga mestinya tak harus membuat badan baru dan LPPOM akhirnya tak berarti.

Osmena pun tak sependapat dengan wacana pemerintah yang akan memisahkan lembaga pemeriksa dengan MUI.

“Secara sistem, hal itu tidak bisa,” katanya. Selama ini, umat Islam paham bahwa lembaga pemeriksa, dalam hal ini komisi fatwa yang dipercaya, adalah dari MUI.

Mereka inilah yang akan melakukan tugas sebagai audit, melakukan penelaahan, dan me-review-nya. “Jika dipecah menjadi sebuah lembaga yang tidak kita kenal, tidak pas untuk menempatkannya,” kata Osmena menegaskan.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Kemenag Mukhtar Ali menyatakan telah berkoordinasi dengan MUI. Dua lembaga ini berusaha mempersempit perbedaan. Karena itu, ia tak mau muncul pandangan pemerintah menghambat pengesahan RUU JPH.

Ia bahkan mengklaim, konsolidasi antara Kemenag dan MUI sudah menghasilkan kemajuan. “Kami telah memberi peran cukup besar kepada MUI.” Menurutnya, pemerintah memang ingin ada auditor halal dari pemerintah. Ini sebenarnya tak perlu dipermasalahkan.

Ia beralasan, auditornya akan disertifikasi MUI. Hasil audit lapangan dibahas Komisi Fatwa MUI. Lewat Fatwa MUI diputuskan apakah sebuah produk layak memperoleh sertifikat halal atau tidak. Laboratorium di bawah pemerintah, ujarnya, akan memudahkan.

Kelak pemerintah tak kesulitan mengecek produk di daerah, khususnya produk usaha kecil dan menengah. Karena, jangkauan laboratorium pemerintah sampai ke seluruh Indonesia. “Tak mungkin produsen daerah harus membawa produk mereka ke Jakarta.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement