REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duet Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) dengan Menko Perekonomian Hatta Rajasa dianggap menarik. Karena, keduanya dianggap mewakili kekuatan politik nasionalis dan Islam di Tanah Air.
Namun, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Firman Noor masih melihat ada beberapa kesulitan. Terutama jika dikaitkan dengan kalkulasi politik. Elektabilitas Hatta dalam bursa pencapresan masih rendah dan belum membaik. Begitu pula elektabilitas PAN yang cenderung mengalami penurunan pada 10 tahun terakhir.
"Posisinya tidak menguntungkan yang menyebabkan kalau Jokowi mau cari pasangan dia tidak akan cari langsung Pak Hatta. Mungkin dia sebagai orang nomor dua," jelas Firman, Rabu (28/11).
Hanya saja, ujarnya, sebagai bagian dari kerja politik, langkah yang ditempuh kedua politisi itu cukup tepat. Karena gerakan dan komunikasi politik memang harus terus dilakukan semua peserta kontestasi pemilu 2014.
"Di sisi lain ini kerja-kerja yang mereka lakukan yang sifatnya masih mengetes air, membuat jaringan. Tapi itu akan jadi fix dan tetap harus mempertimbangkan kalkulasi politik,". ujar Firman.
Selasa (26/11) Hatta dan Jokowi sama-sama berbicara dalam diskusi publik tentang masalah ibu kota di Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat. Mereka menuju UI dengan menggunakan kereta rel listrik (KRL) Commuter Line.
Keduanya berangkat dari Stasiun Cikini dan turun di Stasiun UI. Hatta dan Jokowi tampak akrab dan beberapa kali melakukan perbincangan hangat selama perjalanan. Sambil berdiri di gerbong kereta, mereka juga sesekali berdialog dengan penumpang.