Rabu 27 Nov 2013 20:53 WIB

Pemerintah Didesak Laporkan Australia ke PBB Terkait Penyadapan

Mata-mata dan penyadapan arus data dan komunikasi (Ilustrasi)
Foto: REPUBLIKA.CO.ID
Mata-mata dan penyadapan arus data dan komunikasi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan menyikapi aksi penyadapan yang dilakukan Australia hendaknya Pemerintah Indonesia melaporkannya ke PBB seperti yang dilakukan negara-negara lainnya.

"Pemerintah Indonesia hendaknya melaporkannya ke PBB, tapi malah mengirimkan surat ke Perdana Menteri Australia," kata Jaleswari Pramodhawardani pada diskusi "Dialog Kenegaraan: Menakar Hubungan Indonesia-Australia Pasca Penyadapan," di Gedung MPR/DPR/DPD RI Jakarta, Rabu.

Pembicara lainnya pada diskusi tersebut adalah anggota DPD RI Poppy Dharsono dan anggota Komisi I DPR RI Tantowi Yahya.

Menurut Pramodhawardani yang akrab disapa Dani, negara-negara lainnya melaporkan aksi penyadapan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Australia terhadap 35 pemimpin dunia ke Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).

Negara-negara yang melaporkan ke PBB, kata dia, adalah Jerman, Brasil, Spanyol, dan sejumlah negara lainnya, sehingga PBB menerbitkan resolusi anti penyadapan karena melanggar privasi pemimpin negara dan melanggar hukum internasional.

"Namun reaksi Indonesia menyikapi aksi penyadapan yang dilakukan Australia cukup unik, yakni marah-marah dan kemudian mengirimkan surat kepada PM Australia Tonny Abbot," katanya.

Dani menilai, langkah yang dilakukan Pemerintah Indonesia yakni mengirimkan surat kepada PM Asutralia adalah kurang tepat.

Menurut dia, Pemerintah Indonesia bis ameninjau kembali perjanjian dengan Australia yakni "Lombok Treaty" yang isinya menitikberatkan pada kerjasama di bidang pertahanan, keamanan, kontra terorisme, maritime security, dan intelijen. "Dalam perjanjian itu, Australia lebih banyak diuntungkan secara strategis dan politik," katanya.

Peneliti bidang pertahanan LIPI ini menjelaskan, penyandapan itu bisa dipandang dari tiga aspek yakni yaitu hukum, psikologis dan politik.

Dari aspek hukum, kata dia, ada konvensi Wina yang terkait etika hubungan antarnegara, pada aspek politik ada etikanya dalam hal spionase, intelejen, mata-mata dan sebagainya.

"Penyadapan memang biasa dilakukan sebagai usaha untuk mengumpulkan informasi strategis dan tergantung bagaimana negara bekerja dalam operasi hitam tersebut, tapi ada etika, hukum internasional, dan hubungan politik antarnegara," tegasnya.

Soal reaksi masyarakat dan parlemen Australia yang justru marah dengan PM Tony Abbott dan mendesak agar meminta maaf kepada Indonesia, menurut Dani, karena Austrlia banyak diuntungkan oleh posisi geografis dan hubungannya dengan Indonesia.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement